abuishaq ibrahim bin adham, lahir di balkh dari keluarga bangsawan arab, di dalam legenda sufi disebutkan sebagai seorang pangeran yang meninggalkan kerajaannya - mirip dengan kisah gautama budha - lalu mengembara kearah barat untuk menjalani hidup pertapaan yang sempurna sambil mencari nafkah melalui kerja kasar yang halal hingga
- Sejarah tasawuf dapat ditelusuri dari awal perkembangan Islam pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, sebagian muslim memutuskan untuk hidup sederhana dan mengabdikan diri sepenuhnya pada Tuhan. Mereka mencari cara untuk mencapai pemahaman spiritual yang lebih dalam untuk mendekatkan diri kepada mengajarkan tentang pentingnya kesederhanaan, kejujuran, dan kebajikan. Beberapa di antaranya, seperti Hasan al-Basri dan Rabiah al-Adawiyah, dikenal sebagai tokoh-tokoh spiritual yang menginspirasi ajaran tasawuf. Pada abad ke-8, para sufi mulai muncul dan mengembangkan ajaran tasawuf secara lebih terstruktur. Mereka takarub mendekatkan diri kepada Allah dengan mengembangkan praktik-praktik spiritual seperti zikir dan puasa untuk membantu para pengikutnya mencapai kesadaran spiritual yang lebih dalam tentang Tuhan. Salah satu tokoh penting dalam sejarah awal tasawuf adalah Abu al-Hasan al-Syadzili, seorang sufi dari Mesir yang hidup pada abad ke-13. Ia dikenal sebagai pendiri Tarekat Syadziliyah, salah satu dari banyak tarekat kelompok sufi yang berkembang di seluruh dunia Islam. Tasawuf berkembang dengan pesat di Iran sejak abad ke-11, banyak tokoh sufi terkenal berasal dari negeri ini, seperti Jalaluddin Rumi dan Hafidz Asy-Syirazi. Tasawuf juga memiliki pengikut yang kuat di Mesir dengan lahirnya beberapa tokoh sufi terkenal seperti Imam Al-Ghazali dan Ibnu Arabi. Selain itu, tasawuf juga menyebar ke banyak negara seperti Pakistan, India, Turki, Indonesia, Malaysia, dan sejumlah negara di Afrika. Di Indonesia, beberapa tokoh tasawuf di antaranya adalah Syekh Syamsuddin As-Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri, dan Syekh Abdurrauf As-Singkili. Meskipun tasawuf mengalami tantangan dan kontroversi selama sejarahnya, ajaran-ajarannya tetap menjadi bagian integral dari tradisi dan khazanah keilmuan yang terus memengaruhi banyak umat Islam hingga saat Tasawuf Penyebaran tasawuf mula-mula dilakukan para sufi dengan berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil di masjid dan di tempat-tempat lain untuk berzikir dan melakukan praktik-praktik spiritual lainnya. Seiring waktu, ajaran ini kian meluas melalui perjalanan para sufi yang bepergian ke luar negeri untuk menyebarluaskan ajaran Islam, atau para pedagang dan musafir yang membawa ajaran tasawuf ke berbagai tempat yang mereka kunjungi. Penyebaran tasawuf terutama terjadi pada abad ke-9 hingga abad ke-12 Masehi, ketika banyak kelompok sufi berkembang dan menyebar di seluruh dunia awalnya, misi penyebaran tasawuf dilakukan secara langsung melalui pertemuan-pertemuan dengan para murid dan penguasa di berbagai daerah. Para sufi datang ke suatu tempat untuk memberikan ceramah, membimbing umat Islam, dan memperkenalkan ajaran tasawuf kepada masyarakat abad ke-11, para sufi mulai membentuk kelompok-kelompok keagamaan yang lebih terstruktur, yang dikenal sebagai tariqah atau tarekat. Kelompok-kelompok ini memiliki aturan dan praktik-praktik yang khusus, dan dipimpin oleh seorang guru atau syekh yang dianggap memiliki pengalaman spiritual dan pengetahuan yang mendalam tentang ajaran tasawuf. Selain itu, penyebaran tasawuf juga terjadi melalui literatur. Banyak karya sastra dan puisi tasawuf yang ditulis oleh para sufi yang berisi ajaran-ajaran tentang kesempurnaan spiritual dan hubungan manusia dengan Tuhan. Karya-karya ini menjadi sumber pengajaran bagi banyak orang dalam mengembangkan pemahaman mereka tentang ajaran tasawuf. Diminati sebagai Gerakan Alternatif Seturut Azyumadi Azra dkk dalam Ensklopedi Tasawuf Jilid I A-H 2008, Islam memiliki dua dimensi, yakni dimensi lahir atau eksoterik yang mencakup syariat, seperti salat, puasa, zakat, dan berhaji. Satu lagi dimensi batin atau esoterik yang mencakup tasawuf. Kedua dimensi ini saling membutuhkan dan saling melengkapi. Tasawuf dianggap sebagai gerakan alternatif karena ajaran-ajarannya menekankan pada pengalaman spiritual individu terkait pengalaman langsung hubungan seseorang dengan itu, tasawuf juga mengajarkan pada kesederhanaan serta keterlibatan dalam bermasyarakat. Para sufi mengajarkan nilai-nilai seperti kebaikan, kasih sayang, dan toleransi, yang merupakan prinsip-prinsip yang sangat penting dalam agama Islam. Tasawuf juga menolak materialisme dan lebih fokus pada nilai-nilai spiritual yang lebih tinggi. Namun, seiring waktu, tasawuf juga mengalami perkembangan dan masuk ke dalam struktur keagamaan formal. Di beberapa negara, tasawuf terintegrasi dengan politik dan kekuasaan, yang menyebabkan pengaruhnya menjadi berbeda-beda di berbagai wilayah. Misalnya di Iran, sebagaimana ditulis Seyyed Hossein Nasr dalam Living Sufism 1970, persinggungan syiah dengan tasawuf secara simbolis berakhir setelah masa kepemimpinan Imam Ridha, imam syiah kedelapan. Kemudian ada juga pemikiran yang dilontarkan Muhammad Iqbal 1877-1938, filsuf dan penyair terkenal dari Pakistan. Ia memiliki pandangan yang khas mengenai tasawuf dan peran politik umat Islam. Iqbal percaya bahwa tasawuf adalah gerakan spiritual yang penting dalam Islam, karena tasawuf fokus pada peningkatan kualitas kehidupan spiritual individu dan masyarakat. Iqbal juga menganggap tasawuf sebagai salah satu cara untuk memperbaiki keadaan umat Islam yang seringkali terbelakang dan tertindas. Bagi Iqbal, tasawuf dan politik menjadi dua hal yang tak dapat dipisahkan. Tasawuf memberikan pemahaman tentang esensi agama Islam, sementara politik berperan dalam menjaga kekuatan dan keberlangsungan masyarakat Islam. Dalam konsep teo-demokrasi yang digagasnya, Iqbal menggabungkan unsur-unsur politik dan tasawuf. Ia percaya bahwa demokrasi adalah sistem politik yang paling cocok untuk menjaga nilai-nilai Islam, karena memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Namun demokrasi menurut Iqbal tidak dapat dilaksanakan secara sepihak tanpa mengacu pada nilai-nilai Islam yang mendasar. Oleh karena itu, dalam teo-demokrasi, kekuasaan politik dijalankan oleh para pemimpin yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang ajaran Islam. Tokoh-Tokoh Tasawuf Awal yang Paling Berpengaruh Tokoh-tokoh awal tasawuf memiliki peran penting dalam pengembangan tasawuf sebagai tradisi keilmuan Islam. Mereka membentuk karakteristik khas dari praktik-praktik dan pandangan-pandangan tasawuf yang dikenal sampai saat ini. Hasan Al-Basri 642-728 M, salah satu tokoh awal tasawuf dan dianggap sebagai tokoh sufi pertama. Dikutip dari laman NU Online, dia berguru kepada sahabat nabi, seperti Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Mughaffal, Amr bin Taghlib, Abu Burzah al-Aslami, dan masih banyak lagi. Pemikiran Hasan al-Bashri dalam bidang tasawuf sangat berpengaruh, khususnya dalam hal tawakal, zuhud, dan iktikad. Ia mengajarkan untuk selalu bertawakal kepada Allah dalam segala hal, tidak tergantung kepada dunia atau materi, serta selalu memperbaiki niat dalam segala al-Bashri juga menekankan pentingnya zuhud dan menjaga hati dari cinta kepada dunia, serta menyarankan untuk selalu memperbaiki hubungan dengan Allah dan merenungkan makna-makna kehidupan. Infografik Mozaik Perkembangan Awal Tasawuf. mata para sufi, Hasan Al-Bashri dikenal sebagai salah satu tokoh yang paling menonjol dalam memadukan antara ilmu dan amal, yaitu mengetahui dan mengamalkan agama dengan sebaik-baiknya. Ia mengajarkan bahwa ilmu tanpa amal tidak berarti dan amal tanpa ilmu adalah buta, sehingga penting untuk selalu menggabungkan keseharian, dia juga terkenal dengan sikap rendah hati dan penuh kasih sayang kepada sesama. Ia sering kali memberikan nasihat yang santun dan membantu orang-orang yang membutuhkan. Kesederhanaan dan keterbukaan hatinya membuat banyak orang terpikat dan merasa nyaman ketika berbicara dengannya. Tokoh lain yang memiliki pengaruh dalam perkembangan awal tasawuf ialah Junaid al-Baghdadi 830-910 M, salah satu tokoh sufi yang membentuk banyak konsep dan praktik tasawuf modern. Ia menekankan pada pentingnya pengetahuan dan kesederhanaan dalam praktik sufi, serta menolak praktik-praktik ekstrem yang bertentangan dengan ajaran Islam. Selanjutnya ada tokoh sufi fenomenal, yakni Abu Hamid al-Ghazali 1058-1111 M yang menulis banyak karya penting dalam tradisi tasawuf, termasuk karya monumentalnya Ihya Ulumuddin. Karya ini menjadi referensi utama dalam banyak tarekat dan ilmu tasawuf yang diajarkan di sekolah maupun pesantren-pesantren. Tak lengkap juga jika kita membicarakan tasawuf tanpa menyebut Jalaluddin Rumi 1207-1273 M, tokoh sufi sekaligus penyair terbesar dalam sejarah Persia. Dia memimpin sebuah tarekat sufi yang dikenal sebagai Tarekat Maulawi. Beberapa karyanya, terutama Mathnawi, sangat dihormati dan dihargai oleh banyak orang sebagai salah satu warisan sastra terbesar dalam sejarah. - Sosial Budaya Kontributor Ali ZaenalPenulis Ali ZaenalEditor Irfan Teguh Pribadi
Beliauadalah seorang waliyullah, berasal dari keluarga kerajaan wilayah khurasan. Berkelana ke pedalaman arab kemudian ke Mekkah al-Mukarramah, disana ia bertemu dengan Sufyan Tsauri dan Fudhail bin 'Iyadh kemudian bersahabat dengan mereka. Ibrahim bin Adham mengais rezeki dengan bekerja sebagai pengetam atau penuai, berkebun dan lainnya.
– Ibrahim bin Adham adalah seorang tokoh sufi ternama, tergolong dalam kelompok tabi’in, meninggal dinegeri Syam pada tahun 161 H/778 M rahimahullah. dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi. DONASI SEKARANG Beliau adalah seorang waliyullah, berasal dari keluarga kerajaan wilayah khurasan. Berkelana ke pedalaman arab kemudian ke Mekkah al-Mukarramah, disana ia bertemu dengan Sufyan Tsauri dan Fudhail bin Iyadh kemudian bersahabat dengan mereka. Ibrahim bin Adham mengais rezeki dengan bekerja sebagai pengetam atau penuai, berkebun dan lainnya. Abu hanifah, tokoh ulama mujtahid terkenal adalah juga merupakan salah seorang sahabat Ibrahim bin Adham. Karomah Ibrahim bin Adham Berkata Imam Yafi’i rahimahullah Imam al-Qusyairi meriwayatkan dengan sanadnya, beliau bercerita pernah suatu ketika kami bersama sama dengan Ibrahim bin Adham berada di tepi laut. Kemudian kami berhenti di semak belukar yang banyak kayu-kayu kering, lalu kami berkata kepada Ibrahim “bagaimana bila malam ini kita berdiam di sini dan membakar beberapa kayu untuk perapian ?” Ibrahim bin Adham pun menjawab “boleh, lakukanlah!” Maka kami pun menetap di situ dan membakar beberapa kayu. Saat itu kami hanya membawa bekal beberapa potong roti. Disaat kami sedang menyantap roti, salah seorang dari kami berkata “alangkah bagusnya bara api ini bila ada daging yang bisa kita bakar dengannya untuk kita makan“, kemudian Ibrahim bin Adham berkata “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Kuasa atas memberi daging tersebut kepada kalian”. Sesaat setelahnya, tiba-tiba datanglah seekor singa membawa rusa jantan dimulutnya, singa tersebut lalu mendekati kami dan meletakkan rusa yang sudah lunglai lehernya itu dihadapan kami. Kemudian Ibrahim bin Adham berdiri dan berkata “sembelihlah rusa itu!, sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberi kalian makanan” Maka kami pun langsung menyembelihnya dan memanggang dagingnya, sedangkan si singa masih tetap diam disitu sembari melihat kearah kami. Muhammad bin Mubarak as-Shuwari berkata suatu hari aku sedang berada di jalan baitul maqdis bersama dengan Ibrahim bin Adham, ketika sampai di sebatang pohon delima kami memutuskan beristirahat di bawahnya, lantas kami menunaikan shalat sunnat dhuha disana. Kemudian sesaat setelah selesai shalat, aku mendengar suara yang keluar dari pohon tersebut, ia berkata “sungguh adalah suatu kemuliaan bagi kami jika saudara mencicipi apa yang ada pada kami”. Lalu Ibrahim bin Adham pun berkata kepadaku “wahai Muhammad, marilah kita penuhi permintaannya !”, kemudian Ibrahim mengambil dua buah delima dari pohon itu dan memberikan kepadaku salah satunya seraya berkata “wahai Muhammad, makanlah!”. Muhammad bin Mubarak melanjutkan ceritanya “beberapa hari kemudian aku kembali melewati pohon tersebut, alangkah terkejutnya aku ketika kulihat pohon itu tumbuh besar dan subur dengan begitu banyak buah yang dihasilkannya. Penduduk di daerah tersebut menamakan pohon itu dengan Syajaratul-abidin yang berarti pohon orang-orang ahli ibadah” Beberapa Kalam Hikmahnya Pokok segala ibadah adalah tafakkur dan diam, terkecuali diam dari berzikir kepada shaleh yang paling berat timbangannya kelak di yaumil mizan adalah amalan yang paling berat dirasa oleh yang paling dahsyat adalah jihad melawan hawa nafsu, barangsiapa yang mampu menahan hawa nafsunya maka ia sungguh telah beristirahat daripada dunia beserta balanya, dan adalah ia dilindungi lagi sejahtera daripada penyakit melakukan kebaikan yang hanya sesuai dengan kesukaannya, dan menjauh dari keburukan yang hanya ia benci saja, maka amal kebaikan tersebut tidak berpahala baginya dan tidak terselamatkan ia dari dosa keburukan yang ia tinggalkan ada tiga macam zuhud fardhu, zuhud salamah dan zuhud fadhal. Maka zuhud fardhu itu yakni zuhud pada yang haram, zuhud salamah adalah zuhud pada yang syubhat/samar-samar, dan zuhud fadhal adalah zuhud pada yang ada yang lebih dahsyat lagi berat terhadap iblis melainkan orang alim lagi halim/sabar, yang jika bicara, ia berbicara dengan ilmu dan jika diam maka ia diam dengan sabar. Hingga berkata iblis mengenainya “sungguh diamnya itu lebih membuat aku tertekan ketimbang bicaranya”.Menyedikitkankan rakus dan loba dapat mewarisi kejujuran dan kewara’an, sedangkan memperbanyak keduanya dapat mewarisi dukacita dan hati kalian dengan rasa takut terhadap Allah, sibukkan badan kalian dengan ketekunan pada menta’ati-Nya, wajah kalian dengan rasa malu kepada-Nya dan sibukkan lidah kalian dengan berzikir kepada-Nya. Dan tundukkanlah pandangan kalian daripada melihat segala yang diharamkan engkau dapat mengekalkan pandanganmu kepada cermin taubat, niscaya akan nyata bagimu aib kejelekan maksiat. Demikian sepintas lalu kisah mengenai Al-Arifbillah Syeikh Ibrahim bin Adham, karomah yang dimilikinya dan beberapa kalam hikmah yang muncul dari lisannya. Semoga dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi kita ummat manusia. Wallahua’lambisshawab ! Author Recent Posts Alumni Ponpes Moderen Babun Najah Banda Aceh Santri di Dayah Raudhatul Hikmah Al-Waliyyah, Banda Aceh
Berikutini adalah kisahnya. Munajat yang diyakini berasal dari Ibrahim bin Adham yang beredar di kalangan masyarakat Melayu. Sumber: dalam artikel-artikel sebelumnya kami telah menyampaikan kisah Ibrahim bin Adham menurut versi Farid al-Din Attar dalam Tadhkirat al-Awliya, yang mana berasal dari bahasa Persia.
Ibrahim bin Adham dikenal sebagai sosok sufi yang zuhud — Nama Syekh Ibrahim bin Adham sangat tersohor. Bagi para ahli tasawuf Abad Pertengahan hingga kontemporer, Syekh Ibrahim bin Adham bagaikan mata air. Ia termasuk yang paling awal mengamal kan dan mengajarkan laku sufi di tengah masyarakat. Di samping itu, konsistensinya dalam zuhud menjadi ciri khas tasawuf yang datang sesudahnya. Syekh Ibrahim bin Adham 718-782merupakan seorang sufi yang berpengaruh besar dalam sejarah Islam. Tokoh yang berdarah Arab itu lahir di Khurasan, tepatnya Kota Balkh, kini bagian dari Afghanistan. Keluarganya menetap di wilayah tersebut setelah bermigrasi dari Kufah, Irak. Ada banyak kitab yang memuat kisah-kisah tentang Syekh Ibrahim bin Adham 718-782. Menurut N Hanif dalam Biographical Encyclopaedia of Sufis of South Asia 1999, kebanyakan narasi itu tidak hanya tersebar di kawasan Arab atau Persia. Lebih lanjut, kaum Muslimin di India dan Indonesia pun menerima teks-teks tersebut. Hanif mengatakan, beberapa daerah kultural di Nusantara menjadi tempat persebaran cerita mengenai sang mursyid. Di antaranya ialah Sunda, Jawa, dan sambungnya, masyarakat masing-masing lokasi itu didu ga mendapatkan narasi tentang Syekh Ibrahim dari orang-orang Persia, bu kan Arab. Dan, kandungan kisahnya pun lebih banyak dibumbui hal-hal yang berbau rekaan. Salah satu manuskrip yang mengisahkan tentang tokoh ini ialah Hikayat Sultan Ibrahim bin Adham. Laman Perpustakaan Nasional RI mengungkapkan, kandungan naskah tersebut menceritakan sosok Sultan Ibrahim bin Adham, yakni seorang raja Irak yang rela melepaskan takhta kerajaan karena ingin menjalankan ibadah kepada Tuhan secara khusyuk. Teks hikayat ini dibuka dengan perkataan sebagai berikut. "Ini suatu hikayat ada seorang raja dari negeri Irak bernama Sultan Ibrahim bin Adham, wali Allah. Adapun terlalu besar kerajaannya baginda itu. Sahdan baginda itu sangat pertapa lagi masyhur serta dengan adil pemerintahnya lagi amat mengasih pada segala wazirnya dan hulubalangnya, dan kepada rakyatnya hina dena dan terlalu amat mengasih kepada segala ulama dan fakir dan miskin." Secara keseluruhan, hikayat yang bertuliskan Arab-Melayu tersebut memuat moral dalam dua aspek sekaligus, yakni hubungan vertikal antara hamba dan Allah serta relasi horizontal antarsesama manusia. Aspek pertama meliputi persoalan-persoalan takwa dan mendahulukan perintah Allah, zuhud, ridha, serta pertobatan. Termasuk di dalamnya, kisah tentang perjuangan sang syekh untuk menghalalkan kurma yang terlanjur dimakannya. Adapun aspek kedua bertalian dengan sikap amanah dan pemimpin yang baik. Menurut Danang Susena dalam Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham Suntingan Teks dan Kajian Semiotika2015, kehidupan spiritual Syekh Ibrahim interteks dengan keyakinan yang disebarkan oleh Syekh Hasan al-Bashri 642-728. Kedua tokoh itu sama-sama generasi prinsip mereka diikuti pula antara lain oleh Imam Ghazali 1058- 1111. Dan, sampai kini keyakinan itu masih hidup. sumber Harian Republika
Baiklah tanpa berlama-lama sekarang mari kita simak biografi singkat dari Ibrahim bin Adham. Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Adham Mansur bin Yazid bin Djabir (Abu Ishak) al-Idjli. Dia dilahirkan di Balkh, Khurasan (daerah ini sekarang meliputi sebagian Iran, Afghanistan, dan Asia Tengah).
“Kuduga engkau membeli kemelaratanmu dengan gratis,” komentar Ibrahim melihat hal itu. “Wah,” si pengemis takjub. “Apakah kemelaratan bisa dibeli?” JERNIH— Abu Ishaq Ibrahim bin Adham lahir di Balkh dari keluarga bangsawan. Ibrahim adalah penerus keluarga tersebut, dan sempat mengenyam kekuasaan dan aneka kenikmatan dunia, sebelum kemudian ia bertobat dengan pertobatan yang total. Ibrajim kemudian memasuki dunia tasawuf dan menjadi seorang sufi terkemuka. Banyak cerita tentang dan dari Ibrahim bin Adham. Beberapa di antaranya kami tulis ulang di bawah ini. Suatu hari ada yang bertanya kepada Ibrahim bin Adham,” Apa yang terjadi kepadamu sehingga engkau meninggalkan kerajaanmu?” “Suatu hari aku duduk di singgasanaku,” jawab Ibrahim. “Ada cermin yang didirikan di hadapanku; aku menatap cermin itu dan melihat bahwa aku tinggal di dalam makam, tanpa seorang pun yang aku kenal. Aku melihat perjalanan panjang di hadapanku, dan aku tak sedikit pun memiliki perbekalan. Aku melihat hakim yang adil, tetapi aku tak memiliki hujjah dan pembelaan. Aku mulai muak dengan statusku sebagai raja.” “Mengapa engkau melarikan diri dari Khurasan?” tanya mereka. “Di sana banyak kudengar tentang sosok sahabat sejati,” jawab Ibrahim. “Mengapa engkau tak emngambil seorang istri?”tanya mereka. “Apakah ada perempuan yang mau menerima suami yang terus membuatnya lapar dan telanjang?” “Tidak,” jawab mereka. “Itulah sebabnya aku tidak menikah,” kata Ibrahim. “Perempuan yang kunikahi akan terus lapar dan telanjang tanpa pakaian. Seandainya bisa, aku akan menceraikan diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku membebani orang lain?” Ibrahim berpaling kepada seorang pengemis yang ada saat itu, dan bertanya,” Apakah Engkau memiliki istri?” “Tidak,” jawab pengemis. “Punya anak?” “Tidak,” kembali dijawab pengemis. “Bagus…bagus,” kata Ibrahim. “Mengapa engkau menanyakannya?”tanya pengemis. “Pengemis yang menikah menaiki sebuah kapal. Ketika lahir anak, ia tenggelam.” *** Suatu hari Ibrahim melihat seorang pengemis meratapi nasibnya. “Kuduga engkau membeli kemelaratanmu dengan gratis,” komentar Ibrahim melihat hal itu. “Wah,” si pengemis takjub. “Apakah kemelaratan bisa dibeli?” “Tentu saja,” jawab Ibrahim. “Aku membelinya dengan kerajaan Balkh, dan aku dapat potongan harga.” *** Di dalam kitab “Hilyat al-Auliya” karya Abu Nu’aim, Said bin Harb bercerita, “Suatu ketika, Ibrahim bin Adham tiba di Makkah dan bertamu kepada Ali Abdul Aziz bin Abi Rawad. Syekh Ibrahim membawa kantong yang terbuat dari kulit Biyawak. Kantong itu ia gantungkan di sebuah gantungan. Lalu ia pergi untuk thawaf.” Pada saat bersamaan, Sufyan al-Tsauri, salah satu ulama perawi hadis juga sedang bertamu ke rumah Abdul Aziz. Syekh Sufyan melihat kantong milik Ibrahim bin Adham dengan pandangan heran. Ia bertanya kepada Abdul Aziz, “Kantong ini milik siapa?” “Kantong itu milik salah satu sahabatmu. Ibrahim bin Adham, Syekh.” Syekh Sufyan mendekati kantong lalu memegangnya. Ia penasaran dengan isinya. Ia terus melihat kantong itu dengan seksama lalu berkata, “Agaknya dalam kantong ini ada buah-buahan yang dibawa Ibrahim dari Syiria.” pikirnya. Syekh Sufyan bertambah penasaran dengan isi kantong itu. Dia pun menurunkan kantong dan membukanya. Ketika dibuka, dia kaget dan heran. Bagaimana tidak? Kantong yang dikiranya berisi buah-buahan itu ternyata isinya hanya tanah. Ya. Tanah. Entah untuk apa tanah itu. Maka Syekh Sufyan pun buru-buru menutup kantong lalu menggantungkannya lagi di tempat semula. Ketika Ibrahim bin Adham selesai thawaf dan kembali ke penginapan, Abdul Aziz menceritakan perbuatan Sufyan kepada Ibrahim. “Tadi temanmu, Syekh Sufyan ke sini. Dia penasaran pada isi kantongmu. Dia mengintip apa isi di dalamnya. Dia melihat isinya hanya tanah. Apa benar demikian, Syekh?” Ibrahim bin Adham menjawab, “Begitulah adanya.” “Untuk apa, Syekh?” Abdul Aziz ikut penasaran. “Itu adalah makananku sejak sebulan lalu.” Jawab Ibrahim. Abdul Aziz pun diam tak lagi bertanya. Di dalam riwayat lain, Abu Muawiyah al-Aswad bercerita, “Aku pernah melihat Ibrahim bin Adham memakan tanah selama 20 hari. Setelah itu, Ibrahim berkata kepadaku “Wahai Muawiyah, seandainya aku tidak takut jiwaku diketahui orang-orang, tentu aku hanya akan makan tanah sampai tutup usia ketika aku menemui Allah. Sehingga rezeki halal bagiku benar-benar bersih. Dari mana pun asalnya.” Ibrahim bin Adham makan tanah bukan berarti dia tak mampu mencari makanan lain yang lebih lezat. Dia tokoh yang ternama di zamannya. Dia bisa mendapatkan makanan yang lezat. Tapi mengapa Ibrahim sampai makan tanah? Di dalam kitab Hilyat al-Auliya disebutkan alasannya. Dia berbuat seperti itu semata-mata agar apa yang dimakannya benar-benar dari sesuatu yang halal. Sebab dalam ajaran Islam, setiap makanan yang mengandung unsur haram kelak bisa menyalakan api di dalam neraka. Api itu akan membakar orang yang makan barang haram. *** Selepas menunaikan ibadah haji, Ibrahim ingin melanjutkan perjalanannya ke Masjid al-Aqsha. Ketika di sebuah perjalanan ke Yerussalem, ia mampir ke pasar dekat Masjidil Haram untuk membeli kurma pada seorang pedagang tua untuk bekal di perjalanan. Kurma yang selesai ditimbang lalu dimasukkan di keranjang Ibrahim. Setelah dirasa semua kurma sudah masuk di keranjang, Ibrahim melihat satu kurma tercecer persis di bawah timbangan. Ia mengira satu biji itu bagian dari kurma yang ia beli. Segera ia pungut dan memakannya. Setelah melahap ia berangkat menuju Masjid al Aqsha. Selang empat bulan kemudian, Ibrahim bin Adham tiba di Masjid Al Aqsha. Ia memilih ruangan di bawah Kubah Sakhra sebagai tempat favorit beribadah. Ia salat, mendaras Alquran, bermunajat dengan khusyuk. Di sela-sela ketika ia beribadah, telinganya menangkap suara dua malaikat bercakap tentang dirinya. “Itu dia Ibrahim bin Adham, seorang ahli ibadah, zuhud, dan wara yang doanya selalu dikabulkan oleh Allah Swt,” ujar satu malaikat. “Tetapi sekarang tidak. Doanya tertolak. Sebab empat bulan yang lalu ia memakan sebutir kurma di meja seorang pedagang tua yang bukan haknya,” jawab malaikat yang lain. Mendengar bisikan itu, seketika Ibrahim terkejut dan terhenyak. Ia teringat empat bulan yang lalu sebelum berangkat menuju Yerussalem, ia mampir membeli sekilo kurma di pasar dekat Masjidil Haram. Merasa ada yang janggal di hati dan pikirannya, ia bangkit mengemasi barang-barangnya dan pergi kembali ke Mekah untuk mencari pedagang kurma dan meminta keikhlasan sebutir kurma. Sesampainya di Mekah, di tempat pedagang tua berjualan dulu, yang ditemui bukanlah orang tua yang dulu berjualan, melainkan seorang pemuda belia. Ibrahim yang sedang mengalami kemelut di hati itu pun bertanya. “Empat bulan yang lalu saya membeli kurma di sini kepada seorang pedagang tua. Sekarang di mana dia?” “Itu Bapak saya, Syeikh. Dia meninggal sebulan yang lalu,”kata pemuda tersebut. “Innalillahi Wainna ilaihi rooji’uun, saya turut berduka cita atas kematian Bapakmu wahai pemuda. Kalau begitu kepada siapa saya bisa meminta penghalalan?” Ibrahim kemudian menceritakan detail peristiwa yang dialaminya. Sedang anak muda mendengarkan dengan seksama. “Nah, begitulah. Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur kumakan tanpa izinnya?” kata Ibrahim bin Adham setelah bercerita. “Bagi saya tidak masalah. Saya halalkan. Tapi saya masih memiliki saudara yang jumlahnya 11 orang yang mempunyai hak waris sama dengan saya,”ujar pemuda itu. Ibrahim yang berkeras mendapatkan rido atas sebutir kurma tersebut, meminta alamat masing-masing saudaranya. “Di mana alamat-alamat saudaramu, biar saya temui mereka satu persatu?”kata Ibrahim. Setelah menerima alamat, Ibrahim bin Adham kemudian pergi menemui mereka. Masing-masing didatangi, mengetuk pintu, dan ditemui tepat di depan rumah. Setelah seluruh keluarga itu telah menghalalkan sebutir kurma, Ibrahim pun lega. Dirasa semua permasalahan telah terselesaikan, Ibrahim kembali ke Masjid al Aqsha. Ia kembali menempuh empat bulan perjalanan ke Masjid Al-Aqsha. Sesampainya di sana, seperti biasa, ia memilih Kubah Sakhra sebagai tempat beribadah. Ia kembali bertakarub kepada Allah, dengan ritual salat, zikir, dan munajat. Tidak menunggu lama, di sela-sela ia berdoa, tetiba Ibrahim mendengar dua malaikat yang dulu sedang berdebat. “Itulah Ibrahim bin Adham yang doanya tertolak gara-gara makan sebutir kurma milik orang lain,” kata seorang malaikat. “Oh tidak, sekarang doanya sudah kembali makbul. Ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas,”kata malaikat yang satunya lagi. [dsy] Dari “Tadzkiratul Auliya”, Fariduddin Aththar, Penerbit Zaman, 2018
Namalengkapnya Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid al-Khazzaz al-Qawariri, berasal dari Nahawand, tetapi lahir dan besar di Irak. Ia seorang ahli fiqih dan penganut madzhab "Abi Tsaur", salah seorang murid Imam Syafi'i. Pada saat berumur dua puluh tahun ia sudah dipercaya memberikan fatwa. Ia juga seorang ahli kalam yang masyhur.
loading...Lukisan Ibrahim bin Adham dikunjungi malaikat. Dibuat di Bengal, India Timur sekitar tahun 1790-1800, pelukis tidak diketahui. Foto/Ilustrasi KONON di negeri Irak memerintah seorang raja yang adil, Sultan Ibrahim bin Adham namanya. Dia memerintah dengan segala kasih sayang dan selalu memberikan karunia kepada hamba sahayanya yang berbuat oleh paham tasawuf yang dianutnya, dia lebih mengutamakan penyucian diri pada masalah duniawi yang pada pendapatnya bersifat tipuan dia meninggalkan istana dengan segala kemewahannya dan menyerahkan pemerintahan kepada Wazirul Alam, seorang wasir kepercayaannya. Dia pun masuk hutan dengan menyamar sebagai fakir dengan hanya membawa tongkat, pisau, kantung makanan, dan cincin menghabiskan waktunya untuk beribadah. Pada malam hari dia saIat, berzikir, dan bertahajud. Makanan dan minumannya diambil dari apa saja yang dapat diperolehnya di dalam hutan. Baca Juga Menembus ke IndonesiaKisah Ibrahim Adham ini menyebar tidak hanya sebatas dalam lingkup Persia. Ia bahkan jauh menembus hingga ke India dan Indonesia. N. Hanif, penulis buku Biographical Encyclopedia of Sufis in South Asia, memaparkan di Indonesia, Ibrahim Adham masuk ke tanah Jawa, Melayu, Sunda, dan Bugis. Meski demikian, N. Hanif menduga bahwa kisah Ibrahim yang masuk ke wilayah-wilayah tersebut datang melalui orang-orang Persia, bukan dari orang-orang Arab, dan isinya sudah tidak seperti sumber material yang asli, sudah banyak rekaan di dalamnya. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, dalam usaha mereka untuk melestarikan sastra Indonesia, pernah mengumpulkan hikayat-hikayat lama Melayu. Dan di antara kumpulan hikayat yang telah terkumpul tersebut, salah satunya ternyata adalah hikayat Sultan Ibrahim bin Adham. Meskipun dalam hikayat tersebut Ibrahim bin Adham disebut sebagai seorang “Sultan”, bukan “Raja”, namun jelas-jelas hikayat tersebut mengacu kepada orang yang sama, yaitu Ibrahim bin Adham. Baca Juga Kemungkinan hikayat ini masuk ke Indonesia ketika Dinasti Turki Ustmani sedang berkuasa. Meskipun Indonesia tidak berada di bawah daulah Turki Ustmani, namun dalam beberapa hal, minimal dari istilah-istilah yang dipakai, setidaknya Indonesia juga terpengaruh oleh tren yang sedang mengingat istilah “Sultan” dipopulerkan oleh Turki Ustmani, ketimbang menggunakan istilah “Raja”, orang-orang Indonesia lebih suka memakai kata “Sultan”, yang pada hakikatnya maknanya adalah sama saja. Sebagaimana dapat dilihat dari beberapa kerajaan di Indonesia atau Asia Tenggara, banyak raja yang lebih suka menggunakan gelar sultan ketimbang Indonesia sendiri, di masa modern mengakui, bahwa hikayat-hikayat Melayu tersebut sudah tidak seperti aslinya. Sebelum bangsa Melayu mengenal huruf yang berasal dari abjad bahasa Arab, sastra Melayu disebarluaskan dalam bentuk lisan, yaitu diceritakan oleh nenek atau ibu kepada anak cucunya pada saat-saat ada juga tukang cerita yang lazim dikenal dengan nama pawang atau peliput lara yang menyampaikan hikayat-hikayat tersebut pada saat masyarakat sedang melaksanakan acara-acara tertentu, seperti ketika sedang hajatan atau ketika sedang bersantai melepaskan penyebaran yang demikian itu membutuhkan kepandaian dan keterampilan pencerita membumbui ceritanya dengan berbagai cerita khayalan atau menyelip-nyelipkan jenis khayalan yang sesuai dengan selera para pelipur lara penuh dengan khayalan tersebut di antaranya mengenai kehidupan istana yang mewah, para dewa yang membantu manusia, para bidadari, serta cerita-cerita juga cerita tentang binatang yang mengandung ajaran budi pekerti. Ajaran itu diselipkan dalam pengkhayalan kehidupan binatang sebagai manusia. Kemudian ada cerita-cerita jenaka yang diisi dengan ajaran moral, yang terkandung dalam humor, sebagai ciri khas jenis cerita samping itu, terdapat juga cerita-cerita yang bernuansa Islam, seperti hikayat Isra Miraj Nabi Muhammad SAW, Anbiya, dan Khandak, meskipun di dalamnya sudah ditambah-tambahi dengan khayalan si masa itu, sastra Melayu dipandang sebagai alat ajar yang berfungsi untuk menanamkan nilai sosial dan religius. Oleh karena itu, hikayat-hikayat itu secara terus-menerus disampaikan kepada orang lain, dari generasi kepada generasi bangsa Melayu mengenal huruf, mulailah cerita-cerita itu dituliskan menjadi naskah. Naskah-naskah itu mengalami pengutipan berkali-kali. Dan dalam setiap pengutipan tersebut terjadilah kebebasan untuk mengubah, menambah, atau mengurangi bahannya sesuai dengan selera masing-masing kemudian yang dapat menjelaskan mengapa kisah Ibrahim bin Adham di tanah Melayu berbeda dengan sumber aslinya serta memiliki berbagai varian atau versi. Baca Juga mhy
6 Ilmu pengetahuan bidang bahasa arab, yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa, nahu, saraf, dan lain-lain. 7. Bidang filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran. Sejarah.
Galat skrip tidak ada modul tersebut "Infobox". Ibrahim bin Adham bahasa Arab إبراهيم بن أدهم; Ibrāhīm bin Adham adalah seorang arif besar yang hidup semasa dengan tiga imam Syiah Imam Sajjad as, Imam Baqir as, dan Imam Shadiq as. Namanya tidak termaktub dalam kitab-kitab referensi kuno ilmu rijal. Akan tetapi, menurut pandangan sebagian ulama, ia adalah seorang Syiah yang beraliran sufi. Ibrahim bin Adham berasal dari keluarga ternama dan penguasa kawasan Balkh. Akan tetapi, ia secara tiba-tiba beralih orientasi ke dunia kezuhudan tidak terikat kepada dunia dan materi. Setelah bertobat, ia berangkat menuju Mekkah dan berjumpa dengan para pembesar sufi di kota ini, seperti Sufyan al-Tsauri dan Fudahil al-'Iyadh. Setelah beberapa waktu, ia berpindah ke Syam dan berdomisili di daerah ini hingga akhir usia. Ibrahim bin Adham dikenal sebagai sumber silsilah aliran-aliran tarekat sufi, seperti Tarekat Adhamiyyah dan Tarekat Naqsyabandiyyah. Banyak karya di bidang irfan yang menjelaskan tentang biografi, nasehat serta sejarah perilaku dan perbuatan Ibrahim Adham. Ia berpandangan bahwa menikah dan mempunyai keturunan tidak sesuai dengan kezuhudan. Syaqiq al-Balkhi adalah salah satu murid Ibrahim Adham. Biografi Ibrahim bin Adham bin Sulaiman bin Manshur al-Balkhi adalah salah seorang tokoh sekte kezuhudan[1] dan arif pada abad kedua Hijriah.[2] Julukannya adalah Abu Ishak[3] dan disebut juga dengan al-'Ijli.[4] Ibrahim bin Adham dilahirkan dalam sebuah keluarga berkebangsaan Persia[5] atau bangsa Arab bani Tamim[6] di kota Balkh pada tahun 80 H[7] atau 100 H.[8] Kota Balkh kala itu termasuk dalam teritorial kekuasaan Khurasan.[9] Menurut keyakinan al-Dzahabi, penulis kitab Tarikh al-Islam, ia lahir di kota Mekkah ketika orang tuanya berkunjung ke kota ini untuk menjalankan ibadah haji.[10] Ibrahim dan para leluhurnya termasuk amir,[11] penguasa,[12] dan pembesar kota Balkh.[13] Akan tetapi, menurut laporan sumber-sumber sejarah, ia meninggalkan takhta singgasana kemewahan, memilih hidup zuhud, melakukan suluk, dan memerangi hawa nafsu.[14] Banyak buku dan kitab termasuk kitab dalam bidang irfan memuat biografi, perilaku, dan nasihat-nasihat Ibrahim bin Adham.[15] Sebagian sumber seperti Tadzkirat al-Auliya' karya Aththar Naisyaburi juga menyebutkan, Ibrahim bin Adham pernah berjumpa dengan Nabi Khidir as, dan juga mengetahui isim teragung ilahi Ism al-A'dham.[16] Memilih Zuhud Sumber-sumber referensi keislaman menyebutkan aneka ragam faktor mengapa Ibrahim bin Adham lebih memilih zuhud dan meninggalkan dunia. Faktor-faktor ini antara lain adalah ia mendengar suara gaib ketika ingin berangkat berburu,[17] seekor rusa yang berbicara,[18] atau ia menyaksikan seorang pekerja kasar yang bisa menikmati hidup dengan fasilitas yang sangat minim.[19] Menurut pengakuan Ibrahim bin Adham sendiri, ia memilih zuhud dan meninggalkan dunia lantaran beberapa faktor ini takut terhadap kesendirian di alam kubur, perjalanan panjang hari Kiamat dengan perbekalan yang tidak cukup, dan kemurkaan Allah swt sedangkan ia tidak memiliki alasan yang bisa diandalkan.[20] [catatan 1] Dalam keyakinan Ibrahim bin Adham, diperlukan beberapa syarat untuk memasuki dunia zuhud dan menggapai peringkat orang-orang saleh. Antara lain adalah menutup pintu nikmat dan membuka pintu kesengsaraan, menutup pintu kemuliaan dan membuka pintu kehinaan, menutup pintu kesantaian dan membuka pintu usaha keras, menutup pintu tidur dan membuka pintu keterjagaan, menutup pintu ketidakbutuhan dan membuka pintu kebutuhan, serta menutup pintu angan-angan dan membuka pintu kematian.[21] Menurut penilaian Muhsin Qara'ati, seorang penulis kontemporer, zuhud yang diinginkan oleh Ibrahim bin Adham bertentangan dengan arti zuhud yang didefinisikan oleh Islam[22] serta dilarang dan dicerca oleh Rasulullah saw.[23] Ibrahim menilai, pernikahan dan menghasilkan keturunan bertentangan dengan zuhud,[24] serta mengasingkan diri dari masyarakat adalah sesuatu yang wajib dilakukan.[25] Hijrah ke Makkah dan Syam Setelah bertobat, Ibrahim bin Adham berpindah ke kota Naisyabur. Ia berdiam diri selama 9 tahun di dalam gua di sebuah gunung yang bernama al-Batsra'.[26] Setelah itu, ia pergi ke Makkah.[27] Al-Dzahabi, seorang sejarawan Ahlusunah, menyebutkan, Ibrahim keluar dari kota Balkh karena takut kepada Abu Muslim al-Khurasani.[28] Di Mekah, ia berkenalan dengan para arif seperti Sufyan al-Tsauri dan Fudhail bin 'Iyadh.[29] Tidak lama berlalu, ia berpindah ke Syam.[30] Menurut para ulama, ia berhasil menyebarluaskan zuhud dan irfan di Syam.[31] Wafat Banyak sumber yang berbeda dalam mencatat tahun wafat Ibrahim bin Adham 160 H,[32] 161 H,[33] 162 H,[34] atau 166 H.[35] Ia meninggal dunia secara natural.[36] Sekalipun demikian, sebagian ahli sejarah berkeyakinan, ia wafat dalam sebuah peperangan melawan bangsa Romawi[37] di daerah Suqain, sebuah daerah yang kala itu berada dalam kekuasaan imperium Romawi.[38] Kuburan Ibrahim bin Adham juga diperdebatkan. Menurut sebuah pandangan, ia dimakamkan di Shur, sebuah kota kawasan pantai di Syam.[39] Kedudukan Ibrahim bin Adham, di samping Hasan al-Bashri w. 110 H, Malik bin Dinar, Rabi'ah al-'Adawiyyah, Syaqiq al-Balkhi, dan Makruf al-Karkhi w. 200 H, termasuk tingkatan pertama irfan dan tasawuf dalam Islam.[40] [catatan 2] Menurut keyakinan sebagian ulama, nama sufi melejit terkenal pada masa hidup Ibrahim bin Adham.[41] Para sufi asal Balkh, termasuk Ibrahim bin Adham, banyak terpengaruh oleh aliran tasawuf Bashrah. Untuk itu, mereka berlebihan dalam berzuhud, beribadah, takut, dan berkomitmen untuk hidup miskin.[42] Ibrahim bin Adham juga terpengaruh oleh tokoh-tokoh besar tasawuf seperti Hasan al-Bashri dan Sufyan al-Tsauri.[43] Sekalipun demikian, aliran tasawuf Syam juga sangat terpengaruh oleh Ibrahim bin Adham.[44] Perubahan dalam zuhud, ibadah, dan riadat-riadat sufi adalah manifestasi pengaruh Ibrahim ini.[45] Ibrahim bin Adham juga adalah seorang muhadis.[46] Namanya sangat dipuji dalam kitab-kitab rijal Ahlusunah serta disebut sebagai sahabat Abu Hanifah dan Sufyan al-Tsauri.[47] Abu Hanifah, pemimpin Mazhab Hanafiah,[48] dan Junaid al-Baghdadi menyebut Ibrahim bin Adham dengan julukan-julukan yang penuh penghormatan,[49] dan julukan-julukan ini juga banyak digunakan dalam syair-syair irfani para arif.[50] Akan tetapi, menurut Zainuddin al-Syirwani 1194-1253 H, seorang penulis dan penyair sufi, nama Ibrahim bin Adham tidak pernah disebutkan dalam kitab-kitab rijal Syiah terdahulu.[51] Sayid Muhsin al-A'raji al-Kazhimi 1130-1227 H, seorang fakih Syiah, menyebut Ibrahim bin Adham bersama Kumail bin Ziyad, Busyr bin Harits al-Mirwazi, dan Bayazid al-Basthami sebagai ahli ilmu rijal Syiah yang beraliran sufi.[52] Ibrahim bin Adham dikenal sebagai pencetus silsilah beberapa tarekat sufi.[53] Untuk itu, tarekat Adhamiyyah[54] dan Naqsyabandiyyah berkeyakinan bersambung kepada Imam Sajjad as melalui perantara Ibrahim ini.[55] [catatan 3] Hubungan dengan Para Imam Maksum Ibrahim bin Adham hidup semasa dengan Imam Sajjad as, Imam Baqir as, dan Imam Shadiq as. Sumber-sumber referensi juga mencatat hubungannya dengan para imam Syiah ini. Menurut sebagian sumber, ia senantiasa menjalin hubungan dekat Imam Sajjad as.[56] Pertemuan Ibrahim bin Adham dengan Imam Zainal Abidin as, serta wejangan beliau untuknya juga termaktub dalam sumber-sumber referensi Syiah.[57] Zainal Abidin al-Syirwani menyebutkan, Ibrahim bin Adham pernah berjumpa dengan Imam Baqir as,[58] dan Muhammad Kazhim Asrar Tabrizi 1265-1315 H, seorang penyair dan sufi di masa dinasti Qajar, menyebut Ibrahim bin Adham termasuk salah seorang pengikut setia Imam Baqir as.[59] Beberapa hadis Imam Baqir as disebutkan dalam kitab-kitab referensi hadis melalui riwayat Ibrahim bin Adham.[60] Dalam kitab Safinat al-Bihar dan beberapa sumber yang lain diriwayatkan, ketika Imam Shadiq as ingin keluar dari Kufah menuju Madinah, Ibrahim bin Adham turut mengantar beliau.[61] Menurut beberapa sumber yang lain, ia termasuk salah seorang khadim pelayan Imam Shadiq as.[62] Guru dan Murid Ibrahim bin Adham meriwayatkan hadis dari Imam Baqir as, Muhammad bin Ziyad al-Jumahi, Abu Ishak, Malik bin Dinar, al-A'masy, dan ayahnya sendiri.[63] Murid Ibrahim bin Adham yang paling masyhur adalah Syaqiq al-Balkhi yang juga merupakan arif besar dan murid Imam Kazhim as.[64] Menurut pandangan yang masyhur,[65] Syaqiq adalah hasil didikan langsung Ibrahim bin Adham,[66] atau sahabat seperjuangannya.[67] Dalam Syair dan Sastra Metode hidup, perilaku, dan nasihat-nasihat Ibrahim bin Adham terefleksikan dalam syair-syair yang dilantunkan oleh para penyair, terutama para arif, secara luas. Semua ini terjelmakan dalam syair-syair dengan aneka ragam tema, seperti biografi,[68] kisah tobat dan memilih zuhud,[69] faktor hijrah,[70] perjumpaan dengan Nabi Khidir as,[71] putra kita,[72] munajat,[73] keramat,[74] hikayat,[75] dan tema-tema yang lain. Pranala Terkait Fudhail bin 'Iyadh Hasan al-Bashri Makruf al-Karkhi Catatan Kaki ↑ Al-Sahruwardi, 'Awārif al-Ma'ārif, 1375 S, hlm. 4. ↑ Thabathaba'i, Syi'eh dar Eslām, 1378 S, hlm. 110. ↑ Al-Sullami, Thabaqāt al-Shūfiyyah, 1424 H, hlm. 15; al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjub, 1375 S, hlm. 128. ↑ Ibn Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, 1407 H, jld. 1, hlm. 135. ↑ Pirjamal Ardestani, Mir'at al-Afrad, 1371 S, hlm. 332. ↑ Al-Dzahabi, Tārīkh al-Islām, 1413 H, jld. 10, hlm. 44; Faqir Estahbanati, Khārābāt, 1377 S, hlm. 129. ↑ Faqir Estahbanati, Khārābāt, 1377 S, hlm. 129. ↑ Al-Dzahabi, Siyar A'lām al-Nubalā', 1406 H, jld. 7, hlm. 387-388. ↑ Al-Sullami, Thabaqāt al-Shūfiyyah, 1424 H, hlm. 15. ↑ Al-Dzahabi, Tārīkh al-Islām, 1413 H, jld. 10, hlm. 45. ↑ Al-Sullami, Thabaqāt al-Shūfiyyah, 1424 H, hlm. 15. ↑ Mutahhari, Majmū'eh-ye Ātsār, 1377 S, hlm. 48. ↑ Al-Dzahabi, Tārīkh al-Islām, 1413 H, jld. 10, hlm. 45; al-Kharazmi, Yanbūʻ al-Asrār, 1384 S, jld. 1, hlm. 377. ↑ Sajjadi, Farhangg-e Maʻāref-e Eslāmī, 1373 S, jld. 1, hlm. 126; Mutahhari, Majmū'eh-ye Ātsār, 1377 S, hlm. 327. ↑ Sebagai contoh, silakan rujuk Aththar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyā’, 1905 M, hlm. 94; Qusyairi, Risālah Qusyairiyyah, 1374 S, hlm. 345, 430, dan 455; al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjub, 1375 S, hlm. 129; al-Mustamili al-Bukhari, Syarh al-Taʻarruf li Madzhab al-Tashawwuf, 1363 S, jld. 1, hlm. 226; al-Nasafi, Rāz-e Rabbāniy-e Asrārul Wahy-e Subhānī, 1378 S, hlm. 127 dan 163; Sahruwardi, Awārif al-Maʻārif, 1375 S, hlm. 3; al-Ghazali, Terjemah kitab Ihyā' 'Ulūm al-Dīn, 1386 S, jld. 3, hlm. 185; al-Sullami, Majmūʻat Ātsār al-Sullami, 1369 S, jld. 1, hlm. 366; al-Ghazali, Kimiya-ye Saʻādat, 1383 S, jld. 1, hlm. 363; al-Meibudi, Kasyf al-Asrār wa Uddat al-Abrār, 1371 S, jld. 5, hlm. 451; al-Samʻani, Ruh al-Arwah fi Syarh Asma’ al-Malik al-Fattah, 1384 S, hlm. 169 dan 513; Anshariyan, Erfan-e Eslami, 1386 S, jld. 2, hlm. 462; Mesykini, Nasayeh wa Sokhanan-e Chahardah Ma'shum wa Hezar-o-yek Sokhan, 1382 S, hlm. 165; Faqir Estahbanati, Khārābāt, 1377 S, hlm. 92; Faidh Kasyani, Rah-e Rousyan, 1372 S, jld. 5, hlm. 220; al-Dailami, Terjemah Irsyad al-Qulub, 1349 S, jld. 2, hlm. 277; al-Karajiki, Nuzhat al-Nawazhir fi Tarjumat Maʻdan al-Jawāhir, Teheran, hlm. 77; Jami, Nafahat al-Uns, 1858 M, hlm. 4. ↑ Aththar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyā', 1905 M, hlm. 88; al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 11; Ibnu Khamis al-Mushili, Manaqib al-Abrar wa Mahasin al-Akhyar fi Thabaqat al-Shufiyyah, 1427 H, jld. 1, hlm. 51. ↑ Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, 1407 H, jld. 1, hlm. 135; Al-Sullami, Thabaqāt al-Shūfiyyah, 1424 H, hlm. 15; Ibnu al-Mulaqqin, Thabaqat al-Auliya', 1427 H, hlm. 37; al-Manawi, al-Kawakib al-Durriyyah di Tarajum al-Sadah al-Shufiyyah, 1999 M, jld. 1, hlm. 195; Zaqzuq, Mausuʻat al-Tashawwuf al-Islami, 1430 H, hlm. 202; Ibnu Khamis al-Mushili, Manaqib al-Abrar wa Mahasin al-Akhyar fi Thabaqat al-Shufiyyah, 1427 H, jld. 1, hlm. 51. ↑ Al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjub, 1375 S, hlm. 128. ↑ Mazhahiri, Akhlaq wa Jawan, 1387 S, jld. 1, hlm. 103. ↑ Mesykini, Nasayeh wa Sokhanan-e Chahardah Ma'shum wa Hezar-o-yek Sokhan, 1382 S, hlm. 165. ↑ Al-Sahruwardi, 'Awārif al-Ma'ārif, 1375 S, hlm. 3. ↑ Qara'ati, Gonah-syenasi, 1386 S, hlm. 197. ↑ Qara'ati, Gonah-syenasi, 1386 S, hlm. 197. ↑ Aththar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyā, 1905 M, hlm. 93; Kasyani, Majmu'eh-ye Rasa'el wa Mushannafat Kasyani, 1380 S, hlm. 54; Syahid Tsani, Munyat al-Murid, 1409 H, hlm. 228; Faqir Estahbanati, Khārābāt, 1377 S, hlm. 92. ↑ Faqir Estahbanati, Khārābāt, 1377 S, hlm. 92. ↑ Al-Zubaidi, Taj al-'Arus min Jawahir al-Qamus, 1414 H, jld. 6, hlm. 47. ↑ Aththar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyā', 1905 M, hlm. 87. ↑ Al-Dzahabi, Tārīkh al-Islām, 1413 H, jld. 10, hlm. 44. ↑ Al-Sullami, Thabaqāt al-Shūfiyyah, 1424 H, hlm. 15; Faqir Estahbanati, Khārābāt, 1377 S, hlm. 129. ↑ Ibnu al-Mulaqqin, Thabaqat al-Auliya, 1427 H, hlm. 37. ↑ Lembaga Pemberdayaan dan Pemasyarakatan Budaya Islam Hasanat Isfahan, Seiri dar Sepehr-e Akhlaq, 1389 S, jld. 1, hlm. 107. ↑ Al-Kharazmi, Yanbū' al-Asrār, 1384 S, jld. 1, hlm. 377. ↑ Al-Sullami, Thabaqāt al-Shūfiyyah, 1424 H, hlm. 15; Ibnu al-Mulaqqin, Thabaqat al-Auliya’, 1427 H, hlm. 39; Ruzbehan Tsani, Tuhfat Ahl al-'Irfan, 1382 S, hlm. 21. ↑ Ibnu 'Imad al-Hanbali, Syadzarat al-Dzahab, 1406 H, jld. 2, hlm. 282; Pirjamal Ardestani, Mir'at al-Afrad, 1371 S, hlm. 332. ↑ Al-Kharazmi, Yanbū' al-Asrār, 1384 S, jld. 1, hlm. 377. ↑ Al-Kharazmi, Yanbū' al-Asrār, 1384 S, jld. 1, hlm. 377, menukil dari Tadzkirat al-Auliya'. ↑ Ruzbehan Tsani, Tuhfat Ahl al-'Irfan, 1382 S, hlm. 21. ↑ Al-Zubaidi, Taj al-Arus min Jawahir al-Qamus, 1414 H, jld. 13, hlm. 232; Al-Kharazmi, Yanbū' al-Asrār, 1384 S, jld. 1, hlm. 377. ↑ Ibnu al-Mulaqqin, Thabaqat al-Auliya', 1427 H, hlm. 39. Untuk mengetahui pandangan yang lain, silakan rujuk al-Zirikli, al-A'lam, 1989 M, jld. 1, hlm. 31. ↑ Ahmadpur, Ketab-syenakht-e Akhlaq-e Eslami, laporan analisis tentang warisan aliran-liran akhlak Islam, 1385 S, hlm. 37. ↑ Ahmadpur, Ketab-syenasi-ye Akhlaq-e Eslami, laporan analistis tentang warisan aliran-liran akhlak Islam, 1385 S, hlm. 37. ↑ Al-Sullami, Majmū'at Ātsār Abu Abdirrahman al-Sullami, 1369 S, jld. 1, hlm. 385. ↑ Lembaga Pemberdayaan dan Pemasyarakatan Budaya Islam Hasanat Isfahan, Seiri dar Sepehr-e Akhlaq, 1389 S, jld. 1, hlm. 107. ↑ Lembaga Pemberdayaan dan Pemasyarakatan Budaya Islam Hasanat Isfahan, Seiri dar Sepehr-e Akhlaq, 1389 S, jld. 1, hlm. 107. ↑ Lembaga Pemberdayaan dan Pemasyarakatan Budaya Islam Hasanat Isfahan, Seiri dar Sepehr-e Akhlaq, 1389 S, jld. 1, hlm. 107. ↑ Ensiklopedia Besar Islam, jld. 1, hlm. 405, kosa kata Ibrahim bin Adham. ↑ Al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 12. ↑ Aththar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyā’, 1905 M, hlm. 86. ↑ Aththar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyā’, 1905 M, hlm. 85. ↑ Al-Asiri al-Lahiji, Asrar al-Syuhud fi Maʻrifat al-Haqq al-Ma'bud, hlm. 182. ↑ Al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 11. ↑ Al-A'raji al-Kazhimi, 'Uddat al-Rijal, 1415 H, jld. 2, hlm. 60. ↑ Al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 7; Mirza Syirazi, Manahij Anwar al-Ma'rifah fi Syarh Mishbah al-Syari'ah, 1363 S, jld. 1, hlm. 645. ↑ Gulpinarli, Maulana Jalaluddin, 1363 S, hlm. 246; Masykur, Farhangg-e Feraq-e Eslami, 1372 S, hlm. 309. ↑ Mirza Syirazi, Manahij Anwar al-Maʻrifah fi Syarh Mishbah al-Syari'ah, 1363 S, jld. 1, hlm. 645. ↑ Al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 190. ↑ Namazi Syahrudi, Mustadrakat 'Ilm Rijal al-Hadits, 1414 H, jld. 1 , hlm. 118; al-Qummi, Safinat al-Bihar, 1414 H, jld. 1, hlm. 289. ↑ Al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 190. ↑ Al-Tabrizi, Manzhar al-Auliya', 1388 S, hlm. 140. ↑ Ibnu Thawus, Muhaj al-Da'awat wa Manhaj al-'Ibadat, 1411 H, hlm. 75. ↑ Al-Qummi, Safinat al-Bihar, 1414 H, jld. 1, hlm. 289; Ibnu Syahr Asyub, Manaqib Al Abi Thalib, 1379 H, jld. 4, hlm. 241. ↑ Al-Jaza'iri, Riyadh al-Abrar fi Manaqib al-A'imma al-Athhar, 1427 H, jld. 2, hlm. 136; Ibnu Syahr Asyub, Manaqib Al Abi Thalib, 1379 H, jld. 4, hlm. 248; al-Majlisi, Zendegani-ye Hazrat-e Emam Shadiq as, 1398 H, hlm. 22. ↑ Al-Dzahabi, Tārīkh al-Islām, 1413 H, jld. 10, hlm. 44. ↑ Sajjadi, Farhangg-e Maʻāref-e Eslāmī, 1373 S, jld. 1, hlm. 106. ↑ Faqir Estahbanati, Khārābāt, 1377 S, hlm. 124. ↑ Shafi Alisyah, Irfan al-Haqq, 1371 S, hlm. 121; Mutahhari, Majmū’eh-ye Ātsār, 1377 S, hlm. 48. ↑ Al-Sullami, Thabaqāt al-Shūfiyyah, 1424 H, hlm. 18. ↑ Syah Ni'matullah Wali, Diwan-e Syah Ni'matullah Wali, 1380 S, hlm. 996; Aththar Naisyaburi, Elahi-nameh-ye Aththar, 1355 H, hlm. 21; Al-Asiri al-Lahiji, Asrar al-Syuhud fi Maʻrifat al-Haqq al-Ma'bud, hlm. 182. ↑ Khalkhali, Rasa'el-e Farsi-ye Adham Khalkhali, 1381 S, hlm. 141. ↑ Maulawi, Matsnawi Maulawi, 1373 S, hlm. 520. ↑ Aththar Naisyaburi, Elahi-nameh-ye Aththar, 1355 H, hlm. 277. ↑ Aththar Naisyaburi, Manthiq al-Thair, 1373 H, hlm. 232. ↑ Aththar Naisyaburi, Elahi-nameh-ye Aththar, 1355 H, hlm. 402. ↑ Maulawi, Matsnawi Maulawi, 1373 S, hlm. 279. ↑ Aththar Naisyaburi, Mushibat-nameh, 1354 H, hlm. 225; Maulawi, Diwan-e Kabir-e Syams, 1384 S, hlm. 717; Aththar Naisyaburi, Elahi-nameh-ye Aththar, 1355 H, hlm. 69; Faidh Kasyani, Diwan-e Faidh Kasyani, 1381 S, jld. 4, hlm. 79; Aththar Naisyaburi, Mazhhar al-'Aja'ib wa Mazhhar al-Asrar, 1323 S, hlm. 98; Faidh Kasyani, Erfan-e Matsnawi, 1379 S, hlm. 178. ↑ Masih terdapat faktor-faktor lain yang mendorong Ibrahim bin Adham untuk memilih zuhud. Untuk informasi lebih detail, silakan rujuk Aththar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyā’, 1905 M, hlm. 86; Fathimi, Ganineh-ye Akhlaq, Jami’ al-Durar Fathimi, 1384 S, jld. 2, hlm. 154; al-Mustamili al-Bukhari, Syarh al-Ta'arruf li Madzhab al-Tashawwuf, 1363 S, jld. 1, hlm. 202. ↑ Sekalipun demikian, menurut keyakinan sebagian ulama, sebagian sahabat Imam Ali as, seperti Salman al-Farisi, Uwais al-Qarani, Kumail bin Ziyad, Rasyid al-Hijri, dan Maitsam al-Tammar, berada dalam tingkatan pertama irfan. Para arif meletakkan figur-figur agung ini berada di atas silsilah mereka Thabathaba'i, Syi'eh dar Eslam, 1378 S, hlm. 110. ↑ Sebagian ulama berkeyakinan, Ibrahim bin Adham dalam tarekat memiliki silsilah kepada Imam Ali as melalui Fudhail bin 'Iyadh, dari Fudhail melalui Abdulwahid bin Zaid, dari Abdulwahid melalui Kumail bin Ziyad, dan dari Kumail kepada Amirul Mukminin as al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 38. Tarekat Chasytiyyah menerima silsilah ini al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 38. Meskipun sebagian ulama berkeyakinan, Adhamiyyah dan Chasytiyyah bersambung kepada Imam Baqir as melalui Ibrahim bin Adham al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 38; al-Syirwani, Bustan al-Siyahah, 1315 S, jld. 1, hlm. 347. Begitu pula, tarekat Husainiyyah bersambung kepada Imam Baqir as melalui Ibrahim bin Adham al-Syirwani, Bustan al-Siyahah, 1315 S, jld. 1, hlm. 346. Referensi Ibnu al-Mulaqqin, Umar bin Ali al-Mishri. cet. 2, 1427 H. Thabaqat al-Auliya', Beirut Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah. Ibnu Khamis al-Mushili, Husain bin Nashr bin Muhammad. 1427 H. Manaqib al-Abrar wa Mahasin al-Akhyar fi Thabaqat al-Shufiyyah, Beirut Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah. Ibnu Syahr Asyub al-Mazandarani, Muhammad bin Ali. 1379 H. Manaqib Al Abi Thalib, Qom Allameh. Ibnu Thawus, Ali bin Musa. 1411 H. Muhaj al-Da'awat wa Manhaj al-'Ibadat, Qom Dar al-Dzakha'ir. Ibnu Imad al-Hanbali, Abul Falah Syihabuddin. 1406 H. Syadzarat al-Dzahab fi Akhbari Man Dzahab, diteliti ulang oleh al-Arna'uth, Beirut Dar Ibnu Katsir. Ibnu Katsir al-Dimasyqi, Ismail bin Umar. 1407 H. Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, Beirut Dar al-Fikr. Ahmadpur, Mahdi. 1385 S. Ketab-syenasi-ye Akhlaq-e Eslami, Qom Pusat Penelitian Ilmu dan Budaya Islam. Al-Asiri al-Lahiji, Muhammad. Asrar al-Syuhud fi Ma'rifat al-Haqq al-Maʻbud, Al-Aʻraji al-Kazhimi, Muhsin bin Hasan. 1415 H. 'Uddat al-Rijal, Qom Ismailiyan. Anshariyan, Husain. 1386 S. Erfan-e Eslami Syarh Mishbah al-Syari'ah, Qom Dar al-'Irfan. Pirjamal Ardestani. cet. 1, 1371 S. Mir'at al-Afrad, Teheran Penerbit Zuwwar. Al-Tabrizi, Muhammad Kazhim bin Muhammad. 1388 S. Manzhar al-Auliya’, Teheran Perpustakaan dan Pusat Dokumen Majelis Syura Islami. Jami, Abdurrahman. 1858 M. Nafahat al-Uns, Kalkutta Penerbit Laisi. Al-Jaza'iri, Ni'matullah bin Abdullah. 1427 H. Riyadh al-Abrar fi Manaqib al-A'imma al-Athhar, Beirut Muassasah al-Tarikh al-'Arabi. Al-Kharazmi, Kamaluddin Husain. 1384 S. Yanbū' al-Asrār, Teheran Asosiasi Warisan dan Kebanggaan Budaya. Ensiklopedia Besar Islam. 1374 S. Teheran Pusat Ensiklopedia Besar Islam. Al-Dailami, Hasan bin Muhammad. 1349 S. Terjemah Irsyad al-Qulub, Teheran Toko Buku Jamhari. Al-Dzahabi, Muhammad bin Ahmad. 1413 H. Tārīkh al-Islām wa Wafayat al-Masyahir wa al-A'lam, diteliti ulang oleh Umar Abdussalam al-Tadmuri, Beirut Dar al-Kitab al-'Arabi. Mirza Syirazi, Abul Qasim. cet. 2, 1363 S. Manahij Anwar al-Ma'rifah fi Syarh Mishbah al-Syari'ah, Teheran Khan-qah Ahmadi. Ruzbehan Tsani, Ibrahim bin Shadruddin. cet. 2, 1382 S. Tuhfat Ahl al-'Irfan, Teheran Yalda Qalam. Al-Zubaidi, Muhammad Murtadha. 1414 H. Taj al-'Arus min Jawahir al-Qamus, Beirut Dar al-Fikr. Al-Zirikli, Khairuddin. 1989 M. Al-A'lam, Beirut Dar al-Malayin. Zaqzuq, Mahmud Hamdi. 1430 H. Mausu'at al-Tashawwuf al-Islami, Kairo Kementerian Wakaf Mesir. Sajjadi, Sayyid Ja'far. 1373 S. Farhangg-e Ma'āref-e Eslāmī, Teheran Penerbit Universitas Teheran. Al-Sullami, Muhammad bin Husain. cet. 2, 1424 H. Thabaqāt al-Shūfiyyah, Beirut Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah. Al-Sullami, Muhammad bin Husain. 1369 S. Majmū'at Ātsār al-Sullami, Teheran Markas Penerbitan Danesygahi. Al-Samʻani, Ahmad. cet. 2, 1384 S. Ruh al-Arwah fi Syarh Asma' al-Malik al-Fattah, Teheran Entesyarat-e 'Elmi wa Farhanggi. Al-Sahruwardi, Syihabuddin Abu Hafsh. 1375 S. Awārif al-Ma'ārif, terjemah Abu Manshur al-Isfahani, Teheran Entesyarat-e 'Elmi wa Farhanggi. Syahid Tsani, Zainuddin bin Ali. 1409 H. Munyat al-Murid, Qom Maktabah al-I'lam al-Islami. Al-Syirwani, Zainul Abidin. 1361 S. Riyadh al-Siyahah, Teheran Entesyarat-e Sa'di. Shafi Alisyah, Muhammad Hasan bin Muhammad Baqir. cet. 2, 1371 S. Irfan al-Haqq, Teheran Shafi Alisyah. Thabathaba'i, Muhammad Husain. cet. 13, 1378 S. Syiʻeh dar Eslām', Qom Daftar-e Nasyr-e slami. Aththar Naisyaburi, Fariduddin. cet. 1, 1905 M. Tadzkirat al-Auliyā’, Percetakan Liden. Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. cet. 11, 1383 S. Kimiya-ye Saʻādat, Teheran Entesyarat-e 'Elmi Farhanggi. Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. cet. 6, 1386 S. Ihya' 'Ulum al-Din, terjemah Mu'yyiduddin al-Kharazmi, Teheran Entesyarat-e 'Elmi Farhanggi. Faqir Estahbanati, Ali. 1377 S. Khārābāt dar Bayan-e Hekmat, Syoja'at, Effat, wa Edalat, Teheran Ayeneh-ye Mirats. Faidh Kasyani, Muhammad bin Syah Murtadha. 1372 S. Rah-e Rousyan, Masyhad Astaneh-ye Qods-e Rezawi. Qara'ati, Muhsin. cet. 8, 1386 S. Gonah-syenasi, Teheran Pusat Budaya Darshai az Quran. Qusyairi, Abul Qasim Abdulkarim. cet. 4, 1374 S. Risālah Qusyairiyyah, Teheran Teheran Entesyarat-e 'Elmi wa Farhanggi. Al-Qummi, Abbas. 1414 H. Safinat al-Bihar, Qom Usweh. Kasyani, Abdurrazzaq. cet. 2, 1380 S. Majmu'eh-ye Rasa'el wa Mushannfat-e Kasyani, Teheran Mirats-e Maktub. Lembaga Pemberdayaan dan Pemasyarakatan Budaya Islam Hasanat Isfahan. 1389 S. Seiri dar Sepehr-e Akhlaq, Qom Shahifeh-ye Kherad. Al-Karajiki, Muhammad bin Ali. Nuzhat al-Nawazhir fi Tarjumat Ma'dan al-Jawāhir, Teheran Eslamiyyeh. Gulpinarli, Abdulbaqi. cet. 3, 1363 S. Maulana Jalaluddin, terjemah Taufik Subhani, Teheran Yayasan Riset Kebudayaan. Al-Majlisi, Muhammad Baqir. cet. 2, 1398 H. Zendegani-ye Hazrat-e Emam Shadiq as, terjemah Musa Khosrawi, Teheran Eslamiyyeh. Al-Mustamili al-Bukhari, Ismail. 1363 S. Syarh al-Taʻarruf li Madzhab al-Tashawwuf, Teheran Entesyarat-e Asathhir. Masykur, Muhammad Jawad. cet. 2, 1372 S. Farhang-ge Feraq-e Eslami, Masyhad Astanh-ye Qods-e Rezawi. Mesykini Ardebili, Ali. cet. 24, 1382 S. Nasayeh wa Sokhanan-e Chahardah Ma'shum wa Hezar-o-yek Sokhan, Qom Nasyr al-Hadi. Mutahhari, Murtadha. cet. 8, 1377 S. Majmū’eh-ye Ātsār, Teheran Shadra. Mazhahiri, Husain. cet. 4, 1387 S. Akhlaq wa Jawan, Qom Syafaq. Al-Manawi, Muhammad Abdurra'uf. 1999 M. Al-Kawakib al-Durriyyah di Tarajum al-Sadah al-Shufiyyah, Beirut Dar al-Shadir. Al-Meibudi, Abul Fadhl Rasyiduddin. cet. 5, 1371 S. Kasyf al-Asrār wa 'Uddat al-Abrār, Teheran Entesyarat-e Amir Kabir. Al-Nasafi, Azizuddin. 1378 S. Rāz-e Rabbāniy-e Asrārul Wahy-e Subhānī, Teheran Entesyarat-e Amir Kabir. Namazi Syahrudi, Ali. 1414 H. Mustadrakat 'Ilm Rijal al-Hadits, Teheran putra penulis. Al-Hujwiri, Abul Hasan Ali. cet. 4, 1375 S. Kasyf al-Mahjub, Teheran Thahuri. vte Sahabat-sahabat Imam Baqir asAshabul Ijma' Zurarah bin A'yan • Buraid bin Muawiyah al-'Ijli • Ma'ruf bin Kharrabudz • Fudhail bin Yasar • Muhammad bin MuslimPerawi-perawi lain Abu Jarud • Aban bin Abi 'Ayyasy • Abu Bashir al-Asadi • Abu Hamzah al-Tsumali • Abu Khalid al-Kabuli • Bukayr bin A'yan • Jabir bin Yazid al-Ju'fi • Humran bin A'yan • Khalid bin Abi Karimah • Khaytsamah bin Abdurrahman• Abdul Malik bin A'yan • Layts bin Bakhtari al-Muradi• Aban bin Taglib
Teorilain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan. Tokoh sufi lainnya yang hidup sejaman dengan Abu Hasyim al-Kufi adalah Ibrahim bin Adham (w. 165 H/782 M). Tokoh-tokoh yang memengaruhi tasawuf di Indonesia diantaranya adalah: Syamsuddin As-Sumatrani, Hamzah Al-Fasuri, Nuruddin Ar-Raniri
— Bagi para ahli tasawuf Abad Pertengahan hingga kontemporer, Syekh Ibrahim bin Adham bagaikan mata air. Dia termasuk yang paling awal mengamal kan dan mengajarkan laku sufi di tengah masyarakat. Di samping itu, konsistensinya dalam zuhud menjadi ciri khas tasawuf yang datang sesudahnya. Syekh Ibrahim bin Adham 718-782 merupakan seorang sufi yang berpengaruh besar dalam sejarah Islam. Tokoh yang berdarah Arab itu lahir di Khurasan, tepatnya Kota Balkh, kini bagian dari Afghanistan. Keluarganya menetap di wilayah tersebut setelah bermigrasi dari Kufah, Irak. Ibrahim bin Adham kerap dikisahkan sebagai seorang raja atau pangeran yang memilih zuhud. Walaupun nyaris tidak ada catatan sejarah yang pasti tentang hal itu, dapatlah dikatakan bahwa sosok tersebut memiliki kehidupan yang mapan di Balkh. Setelah bertobat, ia pun menjadi seorang pengembara untuk menjauhi hiruk-pikuk duniawi. N Hanif dalam bukunya, Biographical Encyclopae dia of Sufis of South Asia1999, mengatakan, ada beragam riwayat tentang pertaubatan sang mursyid. Salah satunya, sebagaimana dituturkan Fariduddin Attar dalam Tadzkiratul Auliya, menampilkan perjumpaan antara Ibrahim dan Nabi Khidir. Dalam narasi tersebut, sosok berjulukan Abu Ishaq itu diceritakan sebagai seorang raja Khurasan. Narasi lainnya dinukil dari Abu Bakr al-Kalabadhi dalam Kitab at-Ta'aruf. Pada suatu hari, Ibrahim mengajak prajuritnya untuk berburu di hutan. Aktivitas ini dilakukannya untuk senang-senang belaka, melepas penat dari rutinitas di istana. Tanpa disadari, kuda tunggangan yang ia pacu sejak tadi telah jauh meninggalkan prajuritnya. Ia terpisah dari mereka, jauh ke dalam hutan, menerobos rimbunnya pepohonan tembus ke satu padang rumput yang luas. Tanpa disadarinya, ia telah terpisah dari para pengawalnya. Seandainya kuda yang ditungganginya tidak jatuh tergelincir, barangkali Ibrahim akan tersasar lebih jauh lagi. Saat sedang berusaha bangkit, ia terkejut karena melihat seekor rusa tiba-tiba melintas di depannya. Ia pun dengan lekas menghela kudanya sembari mengarahkan tombak ke hewan tersebut. Sebelum melempar benda runcing itu, ia mendengar suara yang tertuju padanya, “Wahai Ibrahim! Bukan untuk itu kamu diciptakan. Bukan kepada hal itu pula kamu diperintahkan!” Awalnya, penguasa Balkh itu enggan mengacuhkannya. Pikirnya,mungkin suara itu hanya halusinasi. Begitu hendak meraih tombaknya, tiba-tiba suara yang sama terdengar lagi. “Wahai Ibrahim, bukan untuk itu kamu diciptakan dan bukan kepada hal itu pula kamu diperintahkan!” Ia pun menengok ke kiri dan kanan, tetapi tak seorang pun dilihatnya. “Aku berlindung kepada Allah dari godaan iblis,” ucapnya. Baca juga Mualaf Edy, Takluknya Sang Misionaris di Hadapan Surat Al Ikhlas Ia pun memacu lagi kudanya. Akan tetapi, teguran yang sama lagi-lagi terdengar. Ibrahim pun menghentikan langkahnya, Apakah ini sebuah peringatan dari-Mu, Tuhan? katanya bergumam. Putra bangsawan ini pun merasa, petunjuk Illahi telah menerangi hatinya. “Demi Allah, seandainya Dia tidak memberikan perlindungan kepadaku saat ini, pada hari-hari yang akan datang aku akan selalu berbuat durhaka kepada-Nya.” Sejak saat itu, lelaki dari Bani Bakar bin Wafil ini menekuni jalan salik. Segala kemewahan hidup ditinggalkannya.
KarenaIshaq tinggal di Palestina. Ketiga, Allah menyifati Nabi Ismail 'alaihissalâm dengan nabi yang penyabar (Al-Anbiya ayat 85), karena kesabaran menerima cobaan untuk disembelih. Allah juga menyifatinya sebagai nabi yang menepati janji (Maryam ayat 54), karena ia bersedia untuk disembelih dan membantu ayahnya, Nabi Ibrahim
ArticlePDF Available AbstractThe study aims to describe tasawuf, which is focusing on thedevelopment history, various madzhab, and its teaching cores. Thedevelopment of tasawuf has divided into five periodes formation,development, consolidation, philosophical, and purification. Within itsdevelopment‟s history tasawuf has three main madzhab with theirrespective loyal followers. All of those madzhab have agreed that themain teaching of tasawuf is cleaning the sould to be able to be closedto God with the certain methods. Those mazhabs have differentopinions on the form of the method, stage of maqamat, and theexistence of ahwal. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015 ISSN 1693-9867 Al-A’raf Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat Diterbitkan oleh Jurusan Tafsi Hadis dan Akidah Filsafat IAIN Surakarta Penanggung Jawab Abdul Matin Bin Salman Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Pemimpin Redaksi Nurisman Sekretaris Redaksi Tsalis Muttaqin Dewan Redaksi Islah Gusmian Ari Hikmawati Tsalis Muttaqin Waryunah Irmawati Siti Nurlaili Muhadiyatiningsih Kasmuri Syamsul Bakri Redaktur Ahli Mark Woodward Arizona State University, Tempe, USA Mahmoud Ayoub Hatford Theological Seminary, Connecticut, USA Florian Pohl Emory University, Georgia, USA Nashruddin Baidan STAIN Surakarta Damarjati Supadjar Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Tata Usaha Heny Sayekti Puji Lestari Gunawan Bagdiono Alamat Redaksi Sekretariat Fakultas Ushuludin dan Dakwah IAIN Surakarta Jl. Pandawa, Pucangan, Kartasura, Sukoharjo 0271 781516 Email Redaksi menerima tulisan ilmiah dari kalangan manapun tanpa mesti sejalan dengan pandangan redaksi. Redaksi berhak menyunting, dan menyempurna-kan naskah tulisan yang diterima tanpa mengubah substansinya. Adapun isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Naskah tulisan berkisar sekitar 15-20 halaman kwarto dengan spasi ganda dalam bentuk disket dan print out-nya. Naskah disertai abstrak dalam bahasa asing Arab atau Inggris. TASAWUF Sejarah, Madzhab, dan Inti Ajarannya Aly Mashar, Abstrak Tulisan ini menjelaskan tentang tasawuf, yang terfokus pada sejarah perkembangan, berbagai madzhab, dan beberapa inti ajarannya. Perkembangan tasawuf dibagi menjadi lima periode, yakni pembentukan, pengembangan, konsolidasi, falsafi, dan pemurnian. Dalam perjalanannya tasawuf memiliki tiga madzhab utama dengan pendukung loyalnya masing-masing. Semua madzhab sepakat bahwa inti ajaran tasawuf adalah membersihkan jiwa guna mendekatkan diri kepada Allah Swt., dengan menggunakan metode tertentu. Mereka berbeda pendapat mengenai bentuk metode, urutan maqamat, dan keberadaan ahwal. Abstract The study aims to describe tasawuf, which is focusing on the development history, various madzhab, and its teaching cores. The development of tasawuf has divided into five periodes formation, development, consolidation, philosophical, and purification. Within its development‟s history tasawuf has three main madzhab with their respective loyal followers. All of those madzhab have agreed that the main teaching of tasawuf is cleaning the sould to be able to be closed to God with the certain methods. Those mazhabs have different opinions on the form of the method, stage of maqamat, and the existence of ahwal. Key words Tasawuf, Sejarah, Madzhab, Ahwal, Maqamat A. PENDAHULUAN Sebagaimana yang telah dinyatakan dalam salah satu Hadis yang menerangkan tentang Islam, Iman, dan Ihsan, Tasawuf merupakan perwujudan dari salah satu ketiga pilar syari‟at tersebut, yakni Ihsan. Lihat Arba‟in Nawawi atau Abu Abdullah Muhammad al Mughirah dan Abu Husain Muslim al Qusyairi, al-Lu‟lu‟ wa al Marjan Jilid I, tkt. Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tt., h. 2. 98 Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015 Jadi, tasawuf adalah bagian dari syari‟at Islam, atau dengan kata lain bahwa Syari‟at Islam juga memuat ajaran tentang tasawuf. Dengan dasar pemikiran ini, maka menganaktirikan tasawuf atau kajian atasnya merupakan hal yang kurang benar, sebab mereka dalam syari‟at Islam menduduki porsi dan posisi yang sama dengan kedua pilar Islam lainnya. Namun yang ironis, dalam realitanya penganaktirian tersebut terjadi, baik dengan memberikan stereotip negative terhadapnya maupun meninggalkan kajian mendalam atasnya. Mereka lebih suka dan nyaman mengkaji fiqih Islam dan kalam atau tauhid Iman. Dalam rangka menghilangkan atau minimal mengurangi stereotip negative dan keengganan dalam mengkaji tasawuf di atas, tulisan ini penulis tujukan. Mekipun tidak detail, karena terbentur dengan waktu dan halaman, setidaknya tulisan ini dapat memberi gambaran tentang apa itu tasawuf; bagaimana sejarah perkembangannya; siapa tokoh-tokohnya; apa inti ajarannya; dan madzhab-madzhab apa saja yang muncul di dalamnya. B. PENGERTIAN TASAWUF Istilah tasawuf tidak dikenal pada masa kehidupan Nabi dan Khulafaur Rasyidin. Istilah itu baru muncul ketika Abu Hasyim al-Kufy w. 250 H meletakkan kata al-Sufi dibelakang namannya pada abad ke 3 Hijriyah. Menurut Nicholson, sebagaimana yang dikutip oleh Amin Syukur, sebelum Abu Hasyim al-Kufy telah ada ahli yang mendahuluinya dalam zuhud, tawakkal, dan dalam mahabbah, namun mereka tidak menggunakan atau mencantumkan kata al-sufi. Jadi tetap Abu Hasyim orang yang pertama memunculkan istilah etimologi, para ahli berbeda pendapat tentang akar kata tasawuf. Setidaknya ada ada enam pendapat dalam hal itu, yakni 1 kata suffah yang berarti emperan masjid Nabawi yang didiami oleh sebagian sahabat Anshar. Hal ini karena amaliah ahli tasawuf hampir sama dengan apa yang diamalkan oleh para sahabat tersebut, yakni mendekatkan diri kepada Allah Swt., dan hidup dalam kesederhanaan.2 kata Shaf yang berarti barisan. Istilah ini dianggap oleh sebagian ahli sebagai akar kata tasawuf karena ahli tasawuf ialah seorang atau sekelompok orang yang membersihkan hati, sehingga mereka HM. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2002, h. 7-8. Julian Baldick, Islam Mistik Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf, trej. Satrio Wahono, Jakarta Serambi, 2002. , h. 42. Aly Mashar, Tasawuf Sejarah, Madzhab… 99 diharapkan berada pada barisan shaf pertama di sisi Allah Swt. 3 kata shafa yang berarti bersih, karena ahli tasawuf berusaha untuk membersihkan jiwa mereka guna mendekatkan diri kepada Allah Swt. 4 kata shufanah, nama sebuah kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir. Hal ini karena ajaran tasawuf mampu bertahan dalam situasi yang penuh pergolakan ketika itu, ketika umat muslim terbuai oleh materialisme dan kekuasaan, sebagaimana kayu shufanah yang tahan hidup ditengah-tengah padang pasir yang tandus. 5 Kata Teoshofi, bahasa Yunani yang berarti ilmu ketuhanan, karena tasawuf banyak membahas tentang ketuhanan. 6 kata shuf yang berarti bulu domba, karena para ahli tasawuf pada masa awal memakai pakaian sederhana yang terbuat dari kulit atau bulu domba wol.Perbedaan pendapat ini, jika diteliti muncul karena adanya perbedaan sudut pandang yang dipakai. Bagi penulis, perbedaan tersebut tidak menjadi problem, sebab ciri-ciri yang dijadikan landasan pengkaitan akar kata tasawuf di atas semuanya terdapat pada tasawuf itu sendiri. Meski demikian, penulis lebih setuju dengan pendapat yang ke-enam, yakni tasawuf berakar dari kata shuf wol. Hal ini karena kata tersebut lebih tepat baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap kesederhanaan, maupun aspek kesejarahan. Dari segi kebahasaan, tasawuf adalah masdar bentuk ke-5 dari kata dasar s-w-f yang mengindikasikan tempat pertama orang yang menggunakan wol shuf. Lalu orang yang melakukannya disebut shufi atau mutashawwifun Isim Fa‟il bentuk ke-5. Selain itu, shuf wol juga pernah digunakan oleh Nabi dan Sahabat Badar sebagaimana dalam buku Al-Shuhrawardi, Awarif al-Ma‟arif, sebagai berikut Syukur, Menggugat Tasawuf, h. 8-10 dan Baldick, Islam Mistik, h. 44-46. Orang Barat yang mengkaji Islam [Orientalis], menggunakan pembagian bentuk bahasa Arab sebagai berikut Bentuk I , ke-II , ke-III , ke-IV , ke-V , ke-VI , ke-VII , ke-VIII , ke-IX , ke-X , dan beberapa bentuk tambahan lagi. Lih. Hans Wehr, A Dictionary of Modern Arabic Written, New York Spoken Language Services, inc, Eds. III, 1976, XIII. Gibb Ed., The Enciclopaedia of Islam Vol-X, Leiden BRILL, 1986, 313. Syukur, Menggugat Tasawuf, 100 Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015 Artinya“Dari Anas ibn Malik berkata bahwa Rasulullah Saw. Mendatangi undangan seorang hamba sahaya, beliau naik keledai dan mengenakan pakaian bulu domba” . Artinya”Hasan Bashri berkata Aku telah bertemu tujuhpuluh pasukan Badar yang mengenakan pakaian bulu domba” Dua keterangan yang diutarakan oleh Shuhrawardi diatas menunjukkan adanya bukti kesejarahan shuf dan juga sudah menjawab aspek kesederhanaan sebagaimana yang penulis utarakan sebelumnya. Selanjutnya, definisi tasawuf secara terminology juga tidak kalah banyak dengan definisi secara etimologi. Setidaknya terdapat 11 definisi tasawuf yang dimunculkan oleh para praktisi tasawuf. Ke sebelas definisi ini termuat dalam sebuah puisi Persia sebagai berikut What is Tasawwuf? Good character and awareness of God. That‟s all Tasawwuf is. And nothing more. What is Tasawwuf? Love and affection. It is the cure for hatred and vengeance. And nothing more. What is Tasawwuf? The heart attaining tranquality which is the root of religion. And nothing more. What is Tasawwuf? Concentrating your mind, which is the religion of Ahmad peace be upon him. And nothing more. What is Tasawwuf? Contemplation that travels to the Divine throne. It is a far-seeing gaze. And nothing more. Tasawwuf ia keeping one‟s distance from imagination and supposition. Tasawuf is found in certainly. And nothing more. Surrendering one‟s soul to the care of the inviplability of religion; this is tasawwuf. And nothing more. Tasawwuf is the path of faith and affirmation of unity; this is the incorruptible religion. And nothing more. Tasawwuf is the smooth and illuminated path. It is the way to the most exalted paradise. And nothing more. I have heard that the ecstasy of the wearers of wool comes from finding the taste of religion. And nothing more. Aly Mashar, Tasawuf Sejarah, Madzhab… 101 Tasawwuf is nothing but Shari‟at. It is just this clear road. And nothing tasawuf dalam puisi tersebut dapat diambil pemahaman bahwa tasawuf adalah 1 akhlak mulia dan muraqabah kepada Tuhan Ihsan; 2 cinta dan kasih sayang Mahabbah kepada Tuhan; 3 inti atau akar agama guna mencapai kedamaian hati; 4 mengkonsentrasikan pikiran [sesuai ajaran Muhammad] kepada Allah [penyatuan]; 5 kontemplasi yang bertualang menuju tahta ketuhanan; 6 penjagaan seseorang terhadap imajinasi dan perkiraan guna mendapatkan keyakinan atau kepastian; 7 penyerahan jiwa kepada Tuhan; 8 jalan iman dan penegasan persatuan kepada Tuhan; 9 jalan yang halus dan diterangi untuk menuju surga yang paling mulia; 10 jalan untuk menemukan rasa agama [penghayatan mendalam, pen]; dan 11 syari‟at. Dari semua definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa pengertian tasawuf adalah bagian dari syari‟at islam yang memuat suatu metode untuk mencapai kedekatan atau penyatuan antara hamba dan Tuhan dan juga untuk mencapai kebenaran atau pengetahuan hakiki mak‟rifat dan atau inti rasa agama. Tasawuf dikategorikan syari‟at karena ia merupakan salah satu dari tiga pilar Syari‟at Islam, yakni Islam Fiqih, Iman Tauhid, dan Ihsan Tasawuf.Dikatakan sebagai metode, karena tasawuf merupakan suatu cara, baik dengan cara memperbaiki akhlak lahir dan batin, mujahadah, kontemplasi, ishq dan mahabbah, mengikuti semua yang dianjurkan oleh Nabi sunnah-sunnah, penyucian jiwa riyadhoh, tirakat, jw, maupun dengan cara lain sesuai dengan kemampuan dan kecondongan masing-masing. Dan kemudian penyertaan „mencapai kebenaran dan seterusnya‟ merupakan tujuan akhir tasawuf sesuai dengan madzhab-madzhab yang ada di dalamnya. Terkait madzhab-madzhab yang terdapat dalam tasawuf akan penulis jelaskan pada sub bab tersendiri nanti. C. TASAWUF DAN MISTISIME Sebuah Klarifikasi Istilah Sebelum jauh, perlu kiranya disini penulis jelaskan tentang istilah „mistisisme‟ yang sering diidentikkan kepada atau digunakan oleh para -, “What is Tasawwuf?”, An Anonymous Persian Poem, trans. Godlas, artikel yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Tasawuf smt. II, Konsentrasi Filsafat Islam, Fak. Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Syaifan Nur, Lih. Arba‟in Nawawi 102 Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015 peneliti „Barat‟ atau „ter-Barat-kan‟ untuk menyebut tasawuf. Selama ini kedua istilah tersebut dianggap sama, „Tasawuf‟ adalah „Mistikisme‟ dan „Mistikisme‟ adalah „Tasawuf‟. Pemahaman ini tidak hanya diyakini oleh para „Orientalis‟, namun juga oleh para pemikir Islam Indonesia seperti Harun Nasution dalam bukunya “Filsafat dan Mistisisme dalam Islam”. Tidak hanya itu, bahkan kamus Ilmiah Populer yang banyak tersebar di Indonesia pun juga menyamakan atau mengartikan „Mistikisme‟ dengan Sufisme; Tasawuf; Suluk. Pertanyaannya di sini ialah, Bisakah atau Cukupkah istilah „Mistisisme‟ digunakan untuk menyebut atau mewakili „Tasawuf‟? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu kiranya diketahui terlebih dahulu apa itu „Mistikisme‟. Kata „Mistikisme‟ merupakan gabungan dua kata dari „Mistik Mystic‟ dan „isme ism‟. Kata Mistik Mystic, dalam Kamus Inggris-Indonesia dan Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan „Kebatinan; Klenik; Gaib‟. Kemudian, jika digabung dengan kata „isme‟ atau „ism‟ yang menunjukkan suatu faham atau madzhab, maka Mistikisme Mysticism mempunyai arti „Faham atau madzhab Kebatinan, Klenik, atau Gaib‟. Sedangkan secara istilah „Mistikisme‟ didefinisikan sebagai usaha mencapai yang tak terbatas dan untuk menjadi identik dengannya baik melalui beberapa macam konnaturalitas maupun melalui penghancuran total identitas personal dan pengembalian pada kondisi primordial yaitu kesatuan yang tidak dapat dengan arti „Mistikisme‟ dan juga pengertian „Tasawuf‟ sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa istilah „Mistikisme‟ tidak cukup untuk mewakili istilah „Tasawuf‟. Sebab, pada realitanya, tasawuf tidak hanya mencakup persoalan „Kebatinan atau Klenik‟, namun juga mencakup persoalan „kebaktian, kesalehan, dan ketaatan‟ atau yang sering disebut dengan „Asketisme‟ atau „Zuhud‟. Menurut Zulkifli, Mistikisme merupakan bagian dari tasawuf, bukannya tasawuf itu sendiri. Menurutnya, mistikisme tepat jika ditujukan pada salah satu madzhab Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya ARKOLA, 1994, h. 474. John M. Echols dan Hassan Shadili, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta Gramedia, cet. XXV, 2003, h. 389. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia Jakarta Pusat Bahasa, 2008, h. 145. Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, Kartanegara, Jakarta Pustaka Jaya, 1986, h. 327. Aly Mashar, Tasawuf Sejarah, Madzhab… 103 tasawuf, yakni tasawuf falsafi yang dimandegani oleh Muhyidin ibn al-„Arabi, Abu Yazid al-Bistomi, Abu Mansur al-Hallaj dan yang senada TASAWUF DARI WAKTU KE WAKTU Sebuah Kajian Historis Dalam mengkaji dan mendeskripsikan sejarah, para sejarawan menggunakan beberapa metode. Metode yang umum digunakan ialah metode periodic dan metode yang melihat perkembangan pemikiran atau peradaban yang umum dari masa ke masa. Kemudian, pada kajian ini penulis memilih untuk menggunakan kedua metode tersebut secara bersamaan. Jadi, nanti penulis akan membagi perkembangan tasawuf dari mulai masa pembentukan, pengembangan, konsolidasi, falsafi, hingga masa pemurnian. Pada setiap fase masa tersebut penulis juga akan memasukkan tahun atau abad, tokoh-tokoh, dan pemikiran yang dominan ketika itu. Singkatnya, di sini penulis menggunakan model pembahasan yang digunakan oleh Amin Syukur dalam bukunya Menggugat Tasawuf. a. Masa Pembentukan Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa pada masa awal Islam [nabi dan khulafaur Rasyidin] istilah tasawuf belum dikenal. Meski demikian, bukan berarti praktek seperti puasa, zuhud, dan senadanya tidak ada. Hal ini dibuktikan dengan perilaku Abdullah ibn Umar yang banyak melakukan puasa sepanjang hari dan shalat atau membaca al-Qur‟an di malam harinya. Sahabat lain yang terkenal dengan hal itu antara lain Abu al-Darda‟, Abu Dzar al-Ghiffari, Bahlul ibn Zaubaid, dan Kahmas paruh kedua Abad ke-1 Hijriyah, muncul nama Hasan Basri 642-728M, seorang tokoh zahid pertama dan termasyhur dalam sejarah tasawuf. Hasan Basri tampil pertama dengan mengajarkan ajaran khauf takut dan raja‟ berharap, setelah itu diikuti oleh beberapa guru yang mengadakan gerakan pembaharuan hidup kerohaniahan dikalangan yang muncul pada abad ini yakni khauf, raja‟, ju‟ sedikit makan, sedikit bicara, sedikit tidur, zuhud menjauhi dunia Zulkifli, Sufisme di Jawa Peran Pesantren dalam Pemeliharaan Sufisme di Jawa, terj. Ali Mashar, belum terbit, 7-9. Judul asli, Sufism in Java The of The Pesantren in The Maintenance of Sufism in Java, Jakarta INIS, 2002, h. 3-4. Syukur, Menggugat Tasawuf, Ibid., 104 Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015 khalwat menyepi, shalat sunnah sepanjang malam dan puasa disiang harinya, menahan nafsu, kesederhanaan, memperbanyak membaca al-Qur‟an dan lain-lainnya. Para zahid ketika ini sangat kuat memegang dimensi eksteral Islam Syari‟ah dan pada waktu yang sama juga menghidupkan dimensi internal Bathiniyyah.Kemudian pada abad II Hijriyah, muncul zahid perempuan dari Basrah-Irak Rabi‟ah al-Adawiyah w. 801M/185 H. Dia memunculkan ajaran cinta kepada Tuhan Hubb al-Ilah. Dengan ajaran ini dia menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah Swt tanpa atau menghilangan harapan imbalan atas surga dan karena takut atas ancaman neraka. Pada abad ini tasawuf tidak banyak berbeda dengan abad sebelumnya, yakni bercorak kezuhudan. Meski demikian, pada abad ini juga mulai muncul beberapa istilah pelik yang antara lain adalah kebersihan jiwa, kemurnian hati, hidup ikhlas, menolak pemberian orang, bekerja mencari makan dengan usaha sendiri, berdiam diri, melakukan safar, memperbanyak dzikir dan riyadlah. Tokoh yang mempernalkan istilah ini antara lain Ali Syaqiq al-Balkhy, Ma‟ruf al-Karkhy dan Ibrahim ibn Masa Pengembangan Masa pengembangan ini terjadi pada kurun antara abad ke-III dan ke-IV H. Pada kurun ini muncul dua tokoh terkemuka, yakni Abu Yazid al-Bushthami H. dan Abu Mansur al-Hallaj w. 309 H.. Abu Yazid berasal dari Persia, dia memunculkan ajaran fana‟ lebur atau hancurnya perasaan,Liqa‟ bertemu dengan Allah Swt dan Wahdah al-Wujud kesatuan wujud atau bersatunya hamba dengan Allah Swt. Sementara Al-Hallaj menampilkan teori Hulul inkarnasi Tuhan, Nur Muhammad dan Wahdat al-Adyan kesatuan agma-agama. Selain itu, para sufi lainnya pada kurun waktu ini juga membicarakan tentang Wahdat al-Syuhud kesatuan penyaksian, Ittishal berhubungan dengan Tuhan, Jamal wa Kamal keindahan dan kesempurnaan Tuhan, dan Insan al-kamil manusia sempurna. Mereka Ibid., Fakhry, Sejarrah Filsafat Islam, h. 329. Che Zarrina Binti Sa‟ri, “Tokoh Sufi Wanita Rabi‟ah al-„Adawiyyah Motivator ke Arah Hidup Lebih Bermakna”, dalam Jurnal Usuluddin, Bil 12, 2007, h. 29-43. Syukur, Menggugat Tasawuf, Menurut Baldick, pada data-data awal, al-Bustomi tidak ditemukan mengajarkan doktrin Fana‟, baru pada sumber-sumber terkemudianlah doktrin Fana‟ terdapat dalam kisah Sindi yang mengajari al-Bustomi. Baldick, Islam Mistik, h. 53. Aly Mashar, Tasawuf Sejarah, Madzhab… 105 mengatakan bahwa kesemuanya itu tidak akan dapat diperoleh tanpa melakukan latihan yang teratur Riyadhah.Selain munculnya tasawuf yang cenderung pada syathahiyat, sejenis ungkapan-ungkapan ganjil atau ekstatik,dan semi-falsafi yang dimandegani oleh dua tokoh di atas, pada kurun ini juga mulai muncul gerakan banding yang dimandegani oleh Syeikh Junaid al-Baghdadi. Dia memagari ajaran-ajaran tasawufnya dengan al-Qur‟an dan al-Hadis dengan ketat dan mulai meletakkan dasar-dasar thariqah, cara belajar dan mengajar tasawuf, syeikh, mursyid, murid dan murad. Dengan kata lain, pada kurun ini muncul dua madzhab yang saling bertentangan, yakni madzhab tasawuf Sunni al-Junaid dan madzhab Tasawuf semi-Falsafi Abu Yazid dan al-Hallaj. Perlu diketahui pula bahwa pada kurun ini tasawuf mencapai peringkat tertinggi dan jernih serta memunculkan tokoh-tokoh terkemuka yang menjadi panutan para sufi Masa Konsolidasi Masa yang berjalan pada kurun abad V M. ini sebenarnya kelanjutan dari pertarungan dua madzhab pada kurun sebelumnya. Pada kurun ini pertarungan dimenangkan oleh madzhab tasawuf Sunni dan madzhab saingannya tenggelam. Madzhab tasawuf Sunni mengalami kegemilangan ini dipengaruhi oleh kemenangan madzhab teologi Ahl Sunnah wa al-Jama‟ah yang dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy‟ari w. 324 H. Dia melakukan kritik pedas terhadap teori Abu Yazid dan al-Hallaj sebagaimana yang tertuang dalam syathahiyat mereka yang dia anggap melenceng dari kaidah dan akidah Islam. Singkatnya, kurun ini merupakan kurun pemantapan dan pengembalian tasawuf ke landasan awalnya, al-Qur‟an dan al-Hadis. Tokoh-tokoh yang menjadi panglima madzhab ini antara lain Al-Qusyairi 376-465 H, Al-Harawi w. 396 H, dan Al-Ghazali 450-505H. Al-Qusyairi adalah sufi pembela teologi Ahlu Sunnah dan mampu mengompromikan syari‟ah dan hakikah. Dia mengkritik dua hal dari para sufi madzhab semi-falsafi, yakni syathahiyat dan cara berpakaian yang menyerupai orang miskin padahal tindakan mereka Syukur, Menggugat Tasawuf, Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. A. Thoha, Jakarta Pustaka Firdaus, cet. II, 2000, h. 641. Syukur, Menggugat Tasawuf, Muzakkir, Tasawuf dalam Kehidupan Kontemporer Perjalanan Neo-Sufisme, dalam Jurnal Usuluddin, Bil. 26, 2007, h. 63-70. 106 Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015 bertentangan dengannya. Menurut al-Qusyairi kesehatan batin dengan memegang teguh ajaran al-Qur‟an dan al-Hadis lebih penting dripada pakaian lahiriyah. Tokoh kedua ialah Al-Harawi. Dia bermadzhab Hanabilah, maka tidak heran jika dia bersikap tegas dan tandas terhadap tasawuf yang dianggap menyeleweng. Hal yang dikritik oleh Al-Harawi atas ajaran tasawuf semi-falsafi adalah ajaran fana‟ yang dimaknai sebagai kehancuran wujud sesuatu yang selain Allah Swt. Kemudian dia memberikan pemaknaan baru atas fana‟ tersebut dengan ketidaksadaran atas segala sesuatu selain yang disaksikan, Allah Swt. Selain itu, Al-Harawi juga mengkritik syathahiyat. Terkait ini dia menyatakan bahwa syathahiyat hanya muncul dari hati seseorang yang tidak tentram atau ketidaktenangan. Kemudian tokoh yang terakhir ialah Al-Ghazali. Dia merupakan tokoh pembela teologi sunni terbesar, bahkan lebih besar dibanding sang pendirinya, Abu Hasan Al-Asy‟ menjauhkan ajaran tasawufnya dari gnostis sebagaimana yang mempengaruhi para filosog muslim, sekte Isma‟iliyah, Syi‟ah, Ikhwan Shafa dan lain-lain. Ia juga menolak konsep ketuhanan Aristoteles, yakni emanasi dan penyatuan. Terkait teori kesatuan, al-Ghazali menyodorkan teori baru tentang ma‟rifat dalam taqarrub ila Allah, tanpa diikuti penyatuan Masa Falsafi Pada masa abad VI dan VII H ini muncul dua hal penting yakni; Pertama, kebangkitan kembali tasawuf semi-falsafi yang setelah bersinggungan dengan filsafat maka muncul menjadi tasawuf falasafi, dan kedua, munculnya orde-orde dalam tasawuf thariqah. Tokoh utama madzhab tasawuf falasafi antara lain ialah Ibnu „Arabi dengan wahdat al-Wujud, Shuhrawardi dengan teori Isyraqiyyah, Ibn Sabi‟n dengan teori Ittihad, Ibn Faridh dengan teori cinta, fana‟ dan Wahdat al-Syuhud-nya. Sementara orde-orde tasawuf yang muncul pada kurun ini terutama pada abad ke VII H antara lain 1 Tarekat Qadiriyyah, didirikan oleh „Abd al-Qadir Jilani w. 1166 M. dan berpusat di Baghdad. 2 Tarekat Naqshabandiyah, didirikan oleh Muhammad ibn Baha‟ al-Din H. dan didirikan di Asia Tengah. Michael E. Marmura, “Ghazali and Ash‟arism Revisited”, dalam Arabic Sciences and Philosophy, Vol. 12, 2002, h. 91-110. Ibid., h. 36-39. Syukur, Menggugat Tasawuf, h. 40. Aly Mashar, Tasawuf Sejarah, Madzhab… 107 3 Tarekat Maulawiyah Rumiyah, didirikan oleh Jalal al—Din Rumi w. 1273 M, Persia. 4 Tarekat Bekhtasyiyah, didirikan oleh al-Bekhtasyi, Turki. 5 Tarekat Tijaniyah, oleh al—Tijani pada tahun 1781 M di Fez-Maroko. 6 Tarekat Daraquiyah, oleh Maulana „Arabi Darqawi w. 1823 M. di Fez-Maroko. 7 Tarekat Khalwatiyah, didirikan di Persia pada abad 13 M. 8 Tarekat Suhrawardiyah, oleh Suhrawardi al-Maqthul di Irak. 9 Tarekat Rifa‟iyah, oleh al-Rifa‟I w. 1187 M di Irak. 10 Tarekat Sadziliyah, oleh al-Sadzili w. 1258 M. di Tunis. 11 Tarekat Khishtiyah, oleh Mu‟in al-Din Chisthi di Ajmer-India. 12 Tarekat Sanusiyah, oleh al-Sanusi w. 18377 M di Libya. 13 Ttarekat Ni‟matulahiyah, didirikan di Persia dan kemudian di India Isma‟iliyyah. 14 Tarekat Ahmadiyah, oleh Ahmad al-Badawi w. 1276 M. di Mesir dengan pusat di Masa Pemurnian Menurut Arberry sebagaimana dikutip Amin Syukur, pada Ibn „Arabi, Ibn Faridh, dan ar-Rumi adalah masa keemasan gerakan tasawuf baik secara teoritis maupun praktis. Pengaruh dan praktek-praktek tasawuf tersebar luas melalui tarekat-tarekat. Bahkan para sultan dan pangeran tidak segan-segan lagi mengeluarkan perlindungan dan kesetiaan pribadi kepada mereka. Meski demikian, lama kelamaan timbul penyelewengan-penyelewengan dan skandal-skandal yang berakhir pada penghancuran citra baik tasawuf itu sendiri. Singkatnya, pada waktu itu tasawuf dihinggapi ,menurut pandangan Arberry, bid‟ah, khurafat, klenik, pengabaian Syari‟at, hokum-hukum moral, dan penghinaan ilmu fenomena di atas, munculah Ibn Taimiyah yang dengan lantang menyerang ajaran-ajaran yang dia anggap menyeleweng tersebut. dia ingin mengembalikan kembali tasawuf kepada sumber ajaran Islam, al-Qur‟an dan al-Hadis. Hal yang dikritik Ibn Taimiyah antara lain ajaran Ittihad, hulul, wahdat al-Wujud, pengkultusan wali dan lain-lain yang dia anggap bid‟ah, khurafat, dan takhayyul. Dia masih memberikan toleransi atas ajaran fana‟, namun dengan pamaknaan yang berbeda. Dia membagi fana‟ menjadi tiga bagian, yakni 1 fana‟ Ibadah, lebur dalam ibadah, 2 fana‟ syuhud al-Qalb, Ja‟far Shodiq, Pertemuan Tarekat dan NU, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2008, h. 31. ”Sufism”. Dalam artikel yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Tasawuf smt. II, Konsentrasi Filsafat Islam, Fak. Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Syaifan Nur, 12 Feb 2010. Syukur, Menggugat Tasawuf, h. 41-43. 108 Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015 fana‟ pandangan batil, dan 3 fana‟ wujud mas Siwa Allah, fana‟ wujud selain Allah. Menurutnya, fana‟ yang masih sesuai dengan ajaran Islam ialah jenis fana‟ yang pertama dan kedua, sementara jenis fana‟ yang ketiga sudah menyeleweng dan pelakunya dihukumi kafir, sebab ajaran tersebut beranggapan bahwa „wujud Khaliq‟ adalah „wujud Makhluq‟.Kemudian, secara garis besar, ajaran tasawuf Ibn Taimiyah tidak lain ialah melakukan apa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw, yakni menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti madzhab tarekat tertentu, dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan social sebagaimana kalayak umum. E. MADZHAB DALAM TASAWUF Secara garis besar madzhab tasawuf, berdasarkan kecenderungan dan karakteristiknya, dapat dibagi menjadi tiga madzhab, yakni tasawuf falsafi, tasawuf salafi, dan tasawuf sunni akhlaqi/ amali. 1. Tasawuf Falsafi Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, mengkompromikan atau memakai terma-terma filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Madzhab ini juga sering dikenal dengan madzhab „Mistikisme Islam‟ atau madzhab yang sangat dekat dengan „Gnostisisme‟. Tokoh-tokoh yang masuk dalam kategori ini antara lain Abu Yazid al-Bustomi, Abu Mansur al-Hallaj, Ibn „Arabi, Ibnu Sina, Ibnu Sab‟in, Ibnu al-„Afif, Ibn al-Faridl, al-Najm al-Israili, dan yang senada dengan ajaran-ajaran atau istilah-istilah yang sering dimunculkan ialah wahdat al wujud, wahdat al adyan, wahdat asyuhud, hulul, fana‟, liqa‟, ittishal, ittihad, isyraqiyyah, Nur Muhammad dan cinta. Lantas, metode yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut, madzhab ini menggunakan metode maqamat, ahwal, riyadhah, mujahadah, dzikir, mematikan syahwat, tazkiyatun nafs wa qalb dan lain-lainnya sebagaimana madzhab tasawuf Tasawuf Salafi Tasawuf salafi adalah tasawuf yang selalu melandaskan ajaran-ajarannya dengan al-Qur‟an dan al-Sunnah secara ketat. Apa yang tidak Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Peradaban Sebuah Tela‟ah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta Paramadina, cet. Ke-4, 2000, h. 257-266. Abu al-„Ala „Affifi, at-Tasawwuf ar Ruhiyyah fi al-Islam, Kairo tp., 1962, h. 92. Ibid., Aly Mashar, Tasawuf Sejarah, Madzhab… 109 diperintahkan atau diamalkan oleh Nabi bukan tasawuf Islam. Tasawuf ini berusaha memurnikan tasawuf dari bid‟ah, khurafat dan tahayul. Tokoh yang termasuk dalam madzhab ini mayoritas mereka yang dalam fiqih mengikuti Madzhab Hanbaliyah, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim al-Jauziyah, Syeikh Waliyullah al-Dihlawi dan Muahmmad ajaran tasawufnya ialah menghayati ajaran Islam dan melakukan apa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw, seperti shalat sunah, puasa sunah dan lain sebagainya, yang terpenting ada sumber atau nash yang menerangkan hal Tasawuf Akhlaqi/ Sunni Tasawuf Akhlaqi adalah tasawuf yang mengikatkan diri dengan al-Qur‟an dan al-Hadis, namun diwarnai pula dengan interpretasi-interpretasi baru dan menggunakan metode-metode baru yang belum dikenal pada masa generasi awal, salaf. Tujuan akhir dari praktek tasawuf madzhab ini adalah terbentuknya moralitas yang sempurna dan menuai Ma‟rifat Allah. Oleh sebab tujuan inilah madzhab ini juga dikenal dengan tasawuf akhlaqi. Kemudian, jika dilihat berdasarkan karakteristik bentuknya, madzhab ini bias pula dikatakan sebagai madzhab moderat atau penengah antara madzhab tasawuf falsafi yang cenderung bebas dan madzhab tasawuf salafi yang cenderung fenomenal madzhab ini ialah Imam al-Ghazali, dan diikuti oleh mayoritas penganut teologi Asy‟ari dan Maturidi. Inti ajarannya ialah keseimbangan antara syari‟ah dan hakikah, ma‟rifat, akhlak, fana‟, maqamat, tauhid, dan taqarrub ila Allah. Metode pencapaiaannya antara lain mujahadah, dzikir, tazkiyah an nafs wa qalb, riyadhah, kontemplasi, tafakkur, dan AJARAN DAN METODE TASAWUF Kajian atas Maqamat dan Ahwal Meskipun berbeda-beda pendapat dan perwujudan, secara garis besar, para praktisi tasawuf bisa dikatakan sepakat bahwa ajaran tasawuf ialah Tazkiyyah al-Nafs penyucian diri, baik penyucian badan, ucapan, Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf Kritik Ibn Taimiyah atas Rancang Bangun Tasawuf, Kudus STAIN Kudus Press, 2007, h. 12-13. Ibid.,h. 1. Abd al-Qadir Mahmud, al-Falsafah at-Tasawwuf fi al-Islam, Beirut Dar al-Fikr, 1996, h. 78. Ibid. 110 Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015 pemikiran, hati, maupun jiwa; dan pengesaan Allah Swt., melalui Takhalliyyah al-Nafs, Tahalliyyah al-Nafs, dan Tajalliyyah al-Nafs guna mencapai kedekatan atau penyatuan dengan Allah Swt. Ajaran-ajaran ini oleh para sufi disebut dengan maqamat dan Maqamat Para sufi mendefinisikan maqamat sebagai suatu tahap adab kepada Allah dengan bermacam usaha yang diwujudkan untuk satu tujuan pencarian dan ukuran tugas masing-masing yang berada dalam tahapnya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadah menuju kepada-Nya. Lebih mudahnya, maqamat adalah tahap atau titik pemberhentian untuk mencapai tujuan tasawuf yang harus dilalui satu demi satu oleh salik. Dalam jumlah dan urutan maqamat para sufi berbeda pendapat. Namun yang popular adalah maqam Taubah, Zuhd, Sabr, Tawakkal, dan Rida. Untuk penjelasannya sebagai berikut a. Taubah Untuk maqam taubah, para sufi sepakat menempatkannya pada tahap pertama. Hal ini karena, menurut kesepakatan para sufi, bahwa untuk dapat mendekat kepada Allah Swt yang Maha Suci, tidak akan mungkin jika sang salik masih berlumuran dengan dosa. Ia harus bersih terlebih dahulu sebelum mendekat kepada-Nya. Pembersihan diri dari dosa inilah pengertian dari maqam Zuhd Secara definitif zuhd adalah mengabaikan kehidupan duniawi. Hal ini karena, menurut kaum sufi, kehidupan duniawi adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya kejahatan dan dosa. Oleh karena itu, ia harus ditinggalkan. Maqam zuhd ini sangat erat dengan maqam taubah, sebab taubat tidak akan mungkin berhasil selama hati salik masih didominasi Hazrat Mohammad Khadim Hasan Shah, “Tasawuf”, trans. Syed Mumtaz Ali, dalam artikel yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Tasawuf smt. II, Konsentrasi Filsafat Islam, Fak. Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Syaifan Nur, 5 Feb 2010. Khairunnas Rajab, “al-Maqam dan al-Ahwal dalam Tasawuf”, dalam Jurnal Usuluddin, Bil. 25, 2007, h. 1-28. Imam al-Qusyairy al-Naisaburi, Risalah Qusyairiyyah, terj. Lukman Hakim, Surabaya Risalah Gusti, 1999, h. 23. Terkait polemic ini lihat, Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta Pustaka Bulan Bintang, 1993, h. 2. Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf , h. 230-231. Aly Mashar, Tasawuf Sejarah, Madzhab… 111 kecenderungan dan kesenangan duniawi. Namun, dengan pendapat ini, Ibn Taimiyyah tidak sependapat. Menurutnya, zuhd tidak harus meninggalkan semua materi duniawi, tetapi memilah dan memilih. Jika ia merugikan bagi kehidupan akhirat, maka ia harus ditinggalkan. Jika tidak, maka juga tidak boleh Sabr Sabr bukanlah sesuatu yang harus menerima seadanya, namun malah sebaliknya, yaitu berusaha secara sungguh-sungguh dalam menahan diri dalam memikul suatu penderitaan baik dalam suatu perkara yang tidak diingini maupun dalam kehilangan sesuatu yang disenangi. Sabr juga merupakan sikap jiwa yang ditampilkan dalam penerimaan sesuatu baik berkenaan dengan penerimaan tugas dalam bentuk perintah maupun larangan. Jadi, sabr adalah menahan diri dari kecenderungan hawa nafsu terhadap perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah Tawakkal Secara definitif umum, Tawakkal adalah kepercayaan dan penyerahan kepada takdir Allah Swt. sepenuh jiwa dan raga. Kemudian, menurut para sufi, Tawakkal dimaknai sebagai suatu keadaan jiwa yang tetap berada selamanya dalam ketenangan dan ketentraman baik dalam keadaan suka maupun duka. Dalam keadaan suka ia harus bersukur dan ketika dalam keadaan duka ia harus bersabar. Dengan kata lain, dalam keadaan apapun, sang salik tidak diperbolehkan resah dan gelisah, apalagi mencela takdir Allah Rida Rida adalah puncak kecintaan yang diperoleh sang salik selepas menjalani proses ubudiyyahi kepada Allah Swt. yang panjang. Menurut al-Ghazali, kelebihan rida Allah Swt merupakan manifestasi dari keridaan hamba. Rida terikat dengan nilai penyerahan diri kepada Allah yang bergantung kepada usaha manusia dalam berhubungan dengan-Nya agar senantiasa dekat h. 232. Rajab, “al-Maqam dan al-Ahwal dalam Tasawuf” , h. 1-28. Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, Jakarta Pustaka Ruhama, 1994, h. 169. Imam al-Ghazali, al-Mukasyafat al-Qulub, terj. Ahmad Sunarji, Bandung Pustaka Husaini, 1996, h. 346. 112 Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015 2. Ahwal Ahwal tidak lain adalah sesuatu anugerah spiritual pemberian Allah Swt kepada sang salik karena ketaatan dan ibadahnya yang secara terus-menerus. Jadi, ahwal adalah bersifat pemberian, bukan diusahakan sebagaimana maqamat. Menurut Rajab, ahwal dalam tasawuf yang populer antara laina. Khauf Dalam terma tasawuf, khauf adalah hadirnya perasaan takut ke dalam diri sang salik karena dihantui oleh perasaan dosa dan ancaman yang akan menimpanya. Saat rasa ini menghampirinya, sang salik akan merasa tenteram dan tenang karena kondisi hatinya yang semakin dekat dengan Allah Swt. Perasaan ini juga akan menghalanginya untuk melarikan diri dari Allah Swt, dan membuatnya selalu ingat serta ta‟dzim Tawaddu‟ Secara definitif tawaddu‟ adalah kerendahan hati seorang hamba kepda kebenaran dan kekuasaan Tuhannya. Dengan rasa ini, kesombongan sang salik kepada Tuhannya dan juga makhluk Tuhan lainnya akan hilang sirna, sebab ia merasa rendah. Oleh karena itu, jika seseorang sudah sampai atau telah mendapatkan ahwal ini, maka ia tidak akan bersikap pilih kasih dengan siapapun. Sebab ia memandang semuanya adalah sama dan Ikhlash Dalam ajaran tasawuf, ikhlash merupakan suatu hal yang bersifat bathiniyyah dan teruji kemurniannya dengan amal soleh. Ia adalah perasaan halus yang tidak dapat diketahui oleh siapapun. Dengan ini, sang salik dalam melakukan apapun hanya semata karena Allah Swt., bukan Taqwa Secara umum, taqwa berarti memelihara diri dari larangan Allah Swt. dan selalu melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya. Sedangkan menurut terma tasawuf, taqwa adalah usaha penjagaan dari tergelincirnya diri dalam syirik, dosa, kejahatan, dan hal-hal yang subhat, termasuk didalamnya ialah lupa kepada Allah “al-Maqam dan al-Ahwal dalam Tasawuf”, Ibid., „Abdullah al-Anshari al-Harawi, Kitab Manazil al-Sairin, Beirut Dar al-Kutub „Ilmiyyah, 1988, h. 60. Ibid, h. 40-41. al-Qusyairy, Risalah Qusyairiyyah, Aly Mashar, Tasawuf Sejarah, Madzhab… 113 e. Shukur Para sufi memaknai shukr dengan kesan kesadaran rasa terima kasih manusia terhadap rahmat dan karunia yang diterimanya dari Allah Swt. Hadirnya sifat ini, dalam diri manusia, akan memperlihatkan nilai positif atas diri manusia itu sendiri, yakni perwujudan integritasnya dengan Allah dan Mutma‟innah Mutma‟innah secara etimologi berarti ketenangan, sementara secara istilah tidak lain ialah satu kesan batin di mana ketentraman, karena dekat dengan Allah Swt, selalu menyelubunginya. Dan juga ada yang mengartikan sebagai kondisi psikologi yang tenteram dengan selalu mengingat Allah, mengerjakan amal soleh dan ber-taqarrub kepada-Nya. Menurut „Abdullah al-Anshari, mutma‟innah dapat dibagi menjadi tiga, yaitu 1 mutma‟innah hati karena menyebut asma Allah; 2 ketika mencapai tujuan pengungkapan hakikat; dan 3 karena menyaksikan kasing Ajaran-Ajaran yang Diperdebatkan Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa terdapat beberapa ajaran yang masih dalam polemik. Ajaran-ajaran ini pada umumnya merupakan ajaran-ajaran yang masuk dalam kategori madzhab tasawuf falsafi dan sedikit dalam madzhab tasawuf sunny. Ajaran-ajaran tersebut antara lain a. Al-Ma‟rifah Secara harfiah, al-ma‟rifah berarti pengetahuan. Sedangkan dalam terma tasawuf ia diartikan sebagai pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan melalui hati sanubari. Dan pengetahuan itu sedemikian lengkap dan jelas, sehingga hati merasa bersatu dengan yang diketahui. Jadi, perantara antar keduanya, hamba dan Tuhan, dalam al-ma‟rifah ini adalah hati. Maka dari itu, menurut penganut ajaran ini hati dan pembersihan atasnya adalah sangat fital dan penting. Dalam prosesnya, ruh berfungsi untuk mencintai atau rindu kepada Allah Swt. dan sirr, yang dikandung ruh, berfungsi untuk kontemplasi dan berfikir tentang Allah sehingga sang salik dapat berkomunikasi dengan-Nya. Selain al-ma‟rifah, ajaran ini juga dikenal dengan al-kasyf, mukasyafah, sufi yang sangat getol memperjuangkan ajaran ini Rajab, “al-Maqam dan al-Ahwal dalam Tasawuf”, h. 1-28. al-Harawi, Kitab Manazil al-Sairin, h. 53-54. Al-Qusayiri, Risalah Qusyairiyah, h. 98. 114 Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015 antara lain Imam al-Ghazali, Ma‟ruf al-Karkhi, Abu Sulaiman al-Darani, dan Dzun Nun Al-Mahabbah Al-mahabbah dicetuskan oleh Rabi‟ah al-Adawiyah, dan menurutnyaa ia dalah inti dari tasawuf. Menurutnya, al-hubb akan membawa seseorang pada keridaan atau memberikan ketaatan tanpa disertai dengan penyangkalan, shawq kerinduan yang mendalam untuk bertemu Tuhannya, dan Uns mempunyai hubungan spiritual yang intim yang terjalin antara sang pecinta dengan dengan yang dicinta,Tuhan.c. Al-Fana‟ Menurut al-Ghazali, al-fana‟ adalah maqamat terakhir sebelum menuju atau memperoleh al-ma‟rifah. Jadi, poin sangat penting dilalui oleh sang-salik, jika ia ingin mendapatkan pengetahuan sejati dari Tuhannya. Poin ini, masih menurut al-Ghazali, merupakan proses beralihnya kesadaran diri dari alam inderawi ke alam kejiwaan dan alam ketuhanan. Dalam perkembangannya, al-Fana‟ terbagi menjadi dua, yakni al-Fana‟ fi at-Tauhid, hilangnya kesadaran tentang segala sesuatu selain Allah ketika seseorang larut dalam pengalaman ketuhanan; dan al-Fana‟fi al-Ittihad, yaitu sirnanya segala sesuatu selain Allah sehingga sang salik tidak mampu lagi menyaksikan dirinya sendiri karena telah lebur dengan yang disaksikan, Al-Ittihad Al-ittihad merupakan proses kelanjutan dari al-fana‟ dan al-ma‟rifah. Sebab, ia adalah kondisi puncak penghayatan salik atas al-fana‟ dan al-ma‟rifah, sehingga dirasakan telah bersatu dengan Tuhan. Pandangan ini adalah sebagai konsekwensi logis dari dasar filosofi jiwa manusia yang merupakan aspek immateri manusia yang mempunyai relasi ontologis dengan Tuhan. Barangsiapa yang mampu melepaskan dirinya dari ikatan materi, maka ia akan memperoleh jalan kembali kepada Tuhan yang tidak lain adalah Al-Hulul dan Wahdah al-Wujud Kedua ajaran ini adalah kelanjutan dari ajaran al-ittihad. Al-hulul, yang diperkenalkan oleh Abu Mansur al-Hallaj, merupakan Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf, h. 152-153. Zarrina, “Tokoh Sufi Wanita , h. 29-43. Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf, h. 146-147. Ibid., h. 158. Aly Mashar, Tasawuf Sejarah, Madzhab… 115 kelanjutan langsung dari al-ittihad sementara wahdah al-wujud, yang dimandegani oleh Ibnu „Arabi, kelanjutan atau perluasan dari al-hulul. G. PENUTUP Dari uraian di atas, maka bias disimpulkan bahwa tasawuf merupakan bagian dari syari‟at Islam yang memfokuskan ajarannya pada penyucian jiwa guna mencapai kedekatan, kecintaan, atau kesatuan dengan Allah Swt. Kemudian secara bahasa, istilah tasawuf baru muncul pada abad ke II Hijriyah dan berasal dari akar kata shuf/ shaf/ shuffah/ shufanahshafa. Lalu secara istilah definisi tasawuf bias disimpulkan sebagai bagian syari‟at islam yang memuat suatu metode untuk mencapai kedekatan atau penyatuan antara hamba dan Tuhan dan juga untuk mencapai kebenaran atau pengetahuan hakiki mak‟rifat. Secara historis, perkembangan tasawuf bias dibagi menjadi beberapa tahap masa, yakni, masa pembentukan; masa pengembangan; masa konsolidasi; masa falsafi; dan masa pemurnian. Dari uraian secara histories tersebut, juga bias diketahui madzhab-madzhab dan inti ajarannya. Secara garis besar madzhab dalam tasawuf ada tiga, yakni tasawuf falsafi yang ajarannya dekat dengan filsafat, tasawuf salafi yang ajarannya ketat merekat pada al-Qur‟an dan al-Hadis, dan tasawuf akhlaqi yang ajarannya menempati posisi tengah-tengah diantara kedua madzhab sebelumnya, dia selain mendasarkan diri pada al-Qur‟an dan al-Hadis juga mengaitkan dengan ihwal dan maqamat. Kemudian yang terakhir, terkait maqamat dan ahwal, yang tidak lain adalah inti ajaran dan metode tasawuf, para sufi mengalami perbedaan pendapat baik dari segi urutan maupun poin-poin yang dimasukkan kedalamnya. Maqamat yang di sepakati dan populer antara lain maqam taubah, zuhd, sabr, tawakkal, dan rida. Sedangkan ahwal yang populer yakni ihwal khauf, shukr, taqwa, tawaddu‟, ikhlas, dan mutma‟innah. Selain itu, terdapat beberapa ajaran yang menjadi polemik, yakni al-ma‟rifah, al-mahabbah, al-fana‟, al-ittihad, al-hulul, dan wahdah al-wujud. Ibid, h. 162 dan 167. 116 Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015 BIBLIOGRAFI Al-Ghazali, Imam, al-Mukasyafat al-Qulub, Terj. Ahmad Sunarji Bandung Pustaka Husaini, 1996. Al-Harawi, „Abdullah al-Anshari, Kitab Manazil al-Sairin Beirut Dar al-Kutub „Ilmiyyah, 1988. „Affifi, Abu al-„Ala, at-Tasawwuf ar Ruhiyyah fi al-Islam Kairo tp., 1962. Al-Naisaburi, Imam al-Qusyairy, Risalah Qusyairiyyah, Terj. Lukman Hakim, Surabaya Risalah Gusti, 1999. Baldick, Julian, Islam Mistik Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf, Terj. Satrio Wahono Jakarta Serambi, 2002. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia Jakarta Pusat Bahasa, 2008. Echols, John M., dan Hassan Shadili, Kamus Inggris-Indonesia Jakarta Gramedia, cet. XXV, 2003. Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, Kartanegara Jakarta Pustaka Jaya, 1986. Gibb, Ed., The Enciclopaedia of Islam Vol-X Leiden BRILL, 1986. Hans Wehr, A Dictionary of Modern Arabic Written New York Spoken Language Services, inc, Eds. III, 1976. Jaya, Yahya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental Jakarta Pustaka Ruhama, 1994. Khaldun, Ibnu, Muqaddimah, terj. A. Thoha Jakarta Pustaka Firdaus, cet. II, 2000. Muzakkir, Tasawuf dalam Kehidupan Kontemporer Perjalanan Neo-Sufisme, dalam Jurnal Usuluddin, Bil. 26, 2007, h. 63-70. Marmura, Michael E. “Ghazali and Ash‟arism Revisited”, dalam Arabic Sciences and Philosophy, Vol. 12, 2002, h. 91-110. Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin Peradaban Sebuah Tela‟ah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderna Jakarta Paramadina, cet. Ke-4, 2000. Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf Kritik Ibn Taimiyah atas Rancang Bangun Tasawuf Kudus STAIN Kudus Press, 2007. Mahmud, Abd al-Qadir, al-Falsafah at-Tasawwuf fi al-Islam Beirut Dar al-Fikr, 1996. Aly Mashar, Tasawuf Sejarah, Madzhab… 117 al Mughirah, Abu Abdullah Muhammad dan Abu Husain Muslim al Qusyairi, al-Lu‟lu‟ wa al Marjan Jilid I, tkt. Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tt.. Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam Jakarta Pustaka Bulan Bintang, 1993. Partanto, Pius A dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer Surabaya ARKOLA, 1994. Rajab, Khairunnas “al-Maqam dan al-Ahwal dalam Tasawuf”, dalam Jurnal Usuluddin, Bil. 25, 2007, h. 1-28. Syukur, HM. Amin, Menggugat Tasawuf Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21 Yogyakarta Pustaka Pelajar, cet. II, 2002. Shodiq, Ja‟far, Pertemuan Tarekat dan NU Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2008. Sa‟ri, Che Zarrina Binti. “Tokoh Sufi Wanita Rabi‟ah al-„Adawiyyah Motivator ke Arah Hidup Lebih Bermakna”, dalam Jurnal Usuluddin, Bil 12, 2007, h. 29-43. Shah, Hazrat Mohammad Khadim Hasan, “Tasawuf”, Trans. Syed Mumtaz Ali. Dalam artikel yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Tasawuf smt. II, Konsentrasi Filsafat Islam, Fak. Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Syaifan Nur, 5 Feb 2010. Zulkifli, Sufisme di Jawa Peran Pesantren dalam Pemeliharaan Sufisme di Jawa, Terj. Ali Mashar, belum terbit, Judul asli, Sufism in Java The of The Pesantren in The Maintenance of Sufism in Java Jakarta INIS, 2002. “What is Tasawwuf?”, An Anonymous Persian Poem. Trans. Godlas. Dalam artikel yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Tasawuf smt. II, Konsentrasi Filsafat Islam, Fak. Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Syaifan Nur, 5 Feb 2010. “Sufism”. Dalam artikel yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Tasawuf smt. II, Konsentrasi Filsafat Islam, Fak. Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Syaifan Nur, 12 Feb 2010. Kurniawan Dwi SaputraAl-Ghazali is one of the greatest Muslim scholars. He is known as Hujjah al-Islām because of his success in defending Islamic orthodoxy in the face of heretical groups. However, Al-Ghazali is also not free from controversy. Among these criticisms is that Al-Ghazali had experienced a period of skepticism and inconsistent thinking. This research attempts to analyze Al-Ghazali's works and secondary books that explain Al-Ghazali's thoughts. This study uses a qualitative approach to the type of literature research. The topic of this research is the controversy surrounding skepticism and accusations of inconsistency in Al-Ghazali's thought. The steps in this study include topic selection, information exploration, focus determination, data collection, data presentation, and report preparation. The results of this study suggest that Al-Ghazali's skeptical period was not a problem because it happened in a short time and he did not produce any papers. The problem of Al-Ghazali's inconsistency arises because of the many works attributed to him but not actually Al-Ghazali's work or because of the different readers intended by Al-Ghazali in his different books, as stated by Dunya. In conclusion, this study argues that a comprehensive reading of Al-Ghazali's work is needed to provide a complete picture of Al-Ghazali's figure and the extent to which his works are Ashif FuadiThe discourse on the process of Islamization in Nusantara Indonesia still attracts academic attention. This article discusses the history of Islamization in Nusantara as represented by the book of Aḥlā al-Musāmarah written by Kiai Fadhol. He mentions Ten saints Walisepuluh as propagators of Islam in Java, adding one to the nine generally known as Walisongo. He also describes that Islam was brought to Nusantara by the scholars ulamā’ from Pasai, who carried dawah out through several channels of Islamization. Using the library research method, this article shows no significant difference between the Walisepuluh and the Walisongo characters. The Islamization of Nusantara presented in the book was intensified through the diaspora of kinship marriages, the education of the Pesantren Ampel Denta, which produced a network of students, and the establishment of Demak Kingdom, which strengthened the influence of Islam over the Javanese AlamsyahIrfan NoorDzikri NirwanaPurification movements usually tend to reject outright to Sufism, but KH. Mochjar Dahri as the purifier actually appreciated and accepted Sufism as part of Islamic teaching, although many Sufism teachings did not appropriate in the Qur'an and as-Sunnah which he criticized and renewed. Therefore, it is necessary to be studied deeper on his Sufism thoughts. This research aims to study the sufism thought of KH. Mochjar Dahri in the Mursyid al-Ibȃd ilȃ Sabȋl ar-Rasyâd and Ȃtsȃr at-Tashawwuf fȋ Hayȃt alMuslim. This type of research is a study of figure thought. The data are collected through literature and field study. As a result 1 KH. Mochjar Dahri’s thought related to sufism showed in Mursyid al-Ibȃd ilȃ Sabȋl ar-Rasyâd is about al-aqabât which includes taubah, tauhid, dzikir, sabar, syukur, tawakkal, ridhâ, and mahabbah. KH. Mochjar Dahri in his work used the term al-aqabât, whereas Sufi scholars usually use the term al-maqâmât, but the term al-aqabât mentioned above seems to have similarities, even though it has differences in the term of al-maqâm. The Sufism thoughts of KH. Mochjar Dahri in the Ȃtsȃr at-Tashawwuf fȋ Hayât al-Muslim was divided into two typologies of Sufism, namely true Sufism at-tashawwuf ash-shahîh and deviant Sufism at-tashawwuf al-mukhti`. Sufism according to him is the practice of shari’ah physically and mentally on the foundation of the Qur’an and as-Sunnah maximally and optimally. The practice of the Five Pillars of Islam and the Five Pillars of Faith are applied in the form of al-ihsân, which is called Sufism, and 2 The pattern of KH. Mochjar Dahri’s sufism in the Mursyid al-Ibȃd ilȃ Sabȋl ar-Rasyâd is akhlâqî/amalî. The pattern of KH. Mochjar Dahri’s sufism in the Ȃtsȃr at-Tashawwuf fȋ Hayât al-Muslim is a neo-sufism that emphasizes purity and activist characteristicsAsep SaepullahSetidaknya ada dua fungsi agama dalam kehidupan manusia, yakni sebagai norma dan sebagai ilmu. Tidak terkecuali Islam, yang memiliki tiga macam aspek syari’at, yakni iman, Islam, dan Ihsan. Iman dan Islam mudah untuk dijelaskan dan dipahami oleh sebagian besar umat Islam diseluruh dunia, karena berbicara mengenai tauhid serta ilmu-ilmu praktis. Seperti ilmu fiqh dan lainnya. Namun, dalam aspek ihsan yang berkaitan dengan tasawuf, masih sedikit umat Islam yang sadar akan pentingnya aspek ini. Tanpa aspek ini sulit kiranya umat Islam dapat memahami ajaran-ajaran Islam secara kaffah, karena dapat dikatakan bahwa aspek ini merupakan pusat dari agama Islam selain tauhid ataupun syari’ah. Persoalan lainnya muncul, ketika corak pemikiran abad ke-19 sampai 20 yang dikenal dengan aliran positivismenya, cenderung menolak ilmu-ilmu agama yang bersifat tidak bermakna. Dari corak pemikiran tersebut, lahirlah masyarakat modern. Tanpa melalui tauhid, syariah, dan ihsan sebagai intisari ajaran Islam, maka akan sulit bagi masyarakat modern untuk melakukan kebaikan, mencegah dari keburukan, dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Olehsebab itu, penulis berupaya menjelaskan bagaimana relevansi antara tasawuf sebagai intisari ajaran Islam dengan kehidupan masyarakat modern melalui pendekatan deskriptif-filosofis. Melalui pendekatan ini, penulis menyimpulkan bahwa tasawuf sebagai intisari ajaran Islam mampu memberikan dampak secara tidak langsung terhadap masyarakat Kunci Taswuf, Intisari, Ajaran, Islam, dan Sahin Zaimul AsroorIn this modern-contemporary era, Muslims are often faced with the question, "Is it necessary to follow the teachings of the tarekat? Didn't the tarekat especially after al-Ghazali criticized the philosophical tradition cause Muslims to decline and lose their critical power?" Moreover, some sufism teachings such as wahdatul wujud, wahdatus syuhud etc. Often considered as deviating from the pure teachings of Islam, especially by the Wahabi group. In order to answer some of these questions, the writer tries to present how Said Nursi responds in the interpretation of Risalah Nur. Nursi said that, "The present time is not the time of the tarekat." If it is not understood comprehensively, it will cause the reader to be inaccurate in concluding that generally Nursi rejects tarekat and some sufism teachings. That is why the writer wants to present which side of the teachings of tarekat and sufism that Nursi criticizes and what is his new offer. The research method that the author uses is library research with a socio-historical and descriptive-analysis approach using Risalah Nur as the primary source and several supporting books that are still related to the theme as a secondary source. The writer findsMoh Ashif FuadiMost of the people, especially nahdliyin residents, still follow the practice of manakib Sheikh Abdul Qadir al-Jailani. They do this to obtain the blessings of life. There are two most significant mainstream works in the reading of manakib, and the first is the book Nurul Burhani by Muslih Mranggen, and the second is the book of Jawahirul Ma’ani by Jauhari Umar Pasuruan. Each is read by many practitioners of manakib, which basically explains the biography of Abdul Qadir al-Jailani. This research is a comparative study of the historical two books by the method of library study. The results of this study are that books with each other have similarities and differences, even similarities in the content and editorial side. In a historical review, the authorship of the book influences by the experiences of different authors. Nurul Burhani’s book consists of eight parts, while the book of Jawahirul Ma’ani has ten features. Each has a lot in common in the teachings of Sufism that Always act on the truth, a figure is always connected with God at the time of dhikr and live the laws of God and be founded the teaching of Sufism like mujahadah, riyadhah, wara’, zuhud, khauf, qona’ah, sabar, syukur, E. MARMURA At the basis of Ghazali's criticisms of Ash'arite kalam is the thesis that its primary function is the defence of traditional Islamic belief, the 'aqida, against the distortions of heretical innovations al-bida'. Kalam is not an end in itself and it is error to think that the mere engagement in it constitutes the experientially religious. In the I[hdotu]ya' he maintains in effect that when it is pursued as an end in itself, its dogmas can constitute a veil preventive of the attainment of gnosis ma'rifa. On the other hand, Ash'arite kalam when not pursued as an end in itself can be an aid in the quest after gnosis. This is implicit in his reference in Kitab al-Arba'in to his own major work of Ash'arite kalam, the Iqti[sdotu]ad fi al-i'tiqad, where he states that “it goes deeper in ascertaining [the truth] and is closer to knocking at the doors of gnosis than the official discourse encountered in the books of the mutakallimin.” The I[hdotu]ya' abounds with homilies, guides for the pious, particularly for those seeking mystical knowledge. Ash'arism pervades such homilies. Thus in Kitab al-Tawba, Ghazali formulates, analyzes and defends the concept of human choice in Ash'arite terms. He thus argues that each of the ingredients of this concept - knowledge, power, the decisive will, as well as the ensuing choice - is individually the direct creation of God. Not that the argument for this concept yields experiential knowledge of its meaning within the cosmic scheme of things. For Ghazali such knowledge is only attained through mystical vision. But the Ash'arite argument, when not pursued as an end in itself, can be an aid to the seekers of gnosis. It can bring them closer to knocking at its Mumtaz Ali, dalam artikel yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Tasawuf smt. II, Konsentrasi Filsafat Islam, Fak. Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga YogyakartaHazrat Mohammad Khadim Hasan ShahTasawufHazrat Mohammad Khadim Hasan Shah, "Tasawuf", trans. Syed Mumtaz Ali, dalam artikel yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Tasawuf smt. II, Konsentrasi Filsafat Islam, Fak. Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Syaifan Nur, 5 Feb dan al-Ahwal dalam TasawufKhairunnas RajabRajab, Khairunnas "al-Maqam dan al-Ahwal dalam Tasawuf", dalam Jurnal Usuluddin, Bil. 25, 2007, h. at-Tasawwuf ar Ruhiyyah fi al-Islam Kairo tpAbu AffifiAlAffifi, Abu al-"Ala, at-Tasawwuf ar Ruhiyyah fi al-Islam Kairo tp., 1962.Julian BaldickIslam MistikBaldick, Julian, Islam Mistik Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf, Terj. Satrio Wahono Jakarta Serambi, 2002.John M EcholsHassan DanShadiliEchols, John M., dan Hassan Shadili, Kamus Inggris-Indonesia Jakarta Gramedia, cet. XXV, 2003.Yahya JayaSpiritualisasi IslamJaya, Yahya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental Jakarta Pustaka Ruhama, 1994.Jakarta Pustaka Firdaus, cetKhaldunIbnu. A MuqaddimahThohaKhaldun, Ibnu, Muqaddimah, terj. A. Thoha Jakarta Pustaka Firdaus, cet. II, 2000.Tasawuf MuzakkirDalam KehidupanKontemporerMuzakkir, Tasawuf dalam Kehidupan Kontemporer Perjalanan Neo-Sufisme, dalam Jurnal Usuluddin, Bil. 26, 2007, h. MadjidIslam Doktrin PeradabanMadjid, Nurcholish, Islam Doktrin Peradaban Sebuah Tela"ah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderna Jakarta Paramadina, cet. Ke-4, 2000.
LFP58TG. 3j33xcrk0u.pages.dev/4493j33xcrk0u.pages.dev/4003j33xcrk0u.pages.dev/4603j33xcrk0u.pages.dev/23j33xcrk0u.pages.dev/33j33xcrk0u.pages.dev/1533j33xcrk0u.pages.dev/3573j33xcrk0u.pages.dev/357
ibrahim bin adham adalah tokoh tasawuf yang berasal dari