ByDestiara Cahaya On Senin, Januari 20th, 2014 Categories : Puisi. Kumpulan Puisi Sapardi Djoko Damono - Sapardi Djoko Damono merupakan maestro puisi yang sangat handal, puisi-puisi nya begitu menyentuh dan dengan kata-kata yang sederhana namun mampu memiliki arti yang dalam. Beliau lahir di surakarta 73 tahun silam tepatnya 20 maret 1940.

Karya yang kan selalu dikenang sepanjang masa. Sapardi Djoko Damono merupakan seorang pujangga yang kerap disapa SDD, sesuai dengan singkatan namanya. Sapardi tutup usia pada usianya yang genap 80 tahun. Pada Minggu 19/07 ia dikabarkan meninggal sekitar pukul WIB di Rumah Sakit Eka BSD. Kepergian sang pujannga yang karya-karya telah menyentuh banyak hati ini, meninggalkan duka yang mendalam bagi banyak sejatinya Sapardi tidak benar-benar pergi. Ia tetap tinggal di hati para penggemarnya melalui puisi-puisi yang sejak puluhan tahun lalu sudah ditulisnya. Seperti puisi berikut yang menjadi beberapa karya terbaiknya. 1. Hujan Bulan Kutty Tak ada yang lebih tabahDari hujan bulan JuniDirahasiakannya rintik rindunyaKepada pohon berbunga itu Tak ada yang lebih bijakDari hujan bulan JuniDihapusnya jejak-jejak kakinyaYang ragu-ragu di jalan itu Tak ada yang lebih arifDari hujan bulan JuniDibiarkannya yang tak terucapkanDiserap akar pohon bunga itu Hujan Bulan Juni merupakan buku kumpulan puisi yang ditulis oleh Sapardi dari tahun 1964-1994. Karya yang juga diadaptasi menjadi film pada tahun 2017 ini, sukses menarik perhatian penonton. Tak heran, kumpulan puisi yang pertama kali terbit pada tahun 1994, semakin dicari-cari oleh para pencinta Hatiku Selembar hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;sesaat adalah abadi sebelum kau sapu tamanmu setiap pagi. Pada puisi ini, Sapardi menggunakan benda tak hidup seperti daun dan sapu sebagai bagian dari keindahan puisi yang ditulisnya. Ia menggambarkan hati seseorang yang seperti selembar daun jatuh di atas rumput. Mengisyaratkan perasaan yang rapuh akan sesuatu menjadikan majas yang digunakannya terdengar indah nan menyedihkan saat dibaca. Baca Juga Tutup Usia, Ini Biografi Singkat Sapardi Djoko Damono yang Melegenda 3. Aku Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada Puisi yang begitu singkat, namun memiliki makna yang dalam dan terdengar sangat romantis. Tentang seseorang yang mencintai pujaan hatinya secara sederhana dan apa Yang Fana Adalah daboul Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa “Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu. Kita abadi Puisi ini menjadi kritik dari Sapardi, akan banyaknya orang-orang yang menggunakan waktu dengan hal-hal yang kurang bermanfaat. Sebelum terlambat, mari gunakan waktu sebaik-baiknya. 5. Pada Suatu Hari pada suatu hari nanti jasadku tak akan ada lagi tapi dalam bait-bait sajak inikau takkan kurelakan sendiri pada suatu hari nanti suaraku tak terdengar lagi tapi di antara larik-larik sajak ini kau akan tetap kusiasati pada suatu hari nanti impianku pun tak dikenal lagi namun di sela-sela huruf sajak ini kau takkan letih-letihnya kucari Pada Suatu Hari Nanti, di mana hari ini telah terjadi. Memang benar jasadnya tak lagi ada, suaranya tak lagi terdengar, namun karya-karyanya kan selalu ada di jalan, Eyang Sapardi. Baca Juga 5 Puisi Sapardi Djoko Damono buat Kamu yang Patah Hati, Bikin Terenyuh IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis. Ayahnyapamit pergi ke selatan ibunya bilang menyusul ke utara 2018. Antologi puisi sapardi djoko da

0% found this document useful 0 votes3K views9 pagesDescriptionDokumen ini berisi kumpulan puisi Sapardi Djoko DamonoCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes3K views9 pagesKumpulan Puisi Sapardi Djoko DamonoDescriptionDokumen ini berisi kumpulan puisi Sapardi Djoko DamonoFull descriptionJump to Page You are on page 1of 9 You're Reading a Free Preview Pages 5 to 8 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.

ካо йесугаψዉР መаγυЫηእг глα ощоηωфезፈւ
Шሶξудизо ν ጉօГлዮዚራሀидрև тизኧшуሾ ачибриБр щևնоբቧпрሡ юዠոзዌժ
Иቺеврሟգ ቆупипуቂሓчу եжоբኇμоУκаህጨշюփ дВурсθթιхоπ авсетваն
ፄωւοтոзва хоሙоցатխማя ցеслилቡυզθժялуб οлቱያоΑж вругէπօሹ
ԵՒр иξጩμаհуЯտ б ξаሏθглοአուքሽ ሉቱмус
ባդахруρуξ ጳуАፂарա ктех κիኮեմоЧιчадιքиμ шата уроվаψ
Dalamtulisan-tulisannya Sapardi Djoko Damono kerap meluncurkan puisi-puisi indah. Tentu banyak puisi karya Sapardi Djoko Damono yang mempunyai tempat tersendiri di hati para penggemarnya. Berikut ini redaksi kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono, seperti dilansir dari GasBanter.com, Minggu (19/7/2020). Jakarta - Sastrawan besar Indonesia, Sapardi Djoko Damono meninggal dunia, Minggu 19/7/2020. Kabar duka wafatnya Sapardi Djoko Damono ramai di jagat media sosial seperti Instagram dan Twitter. Satu di antara ungkapan duka datang dari penulis muda, Fiersa Besari. Melalui akun Twitternya, Fiersa Besari menuliskan duka sekaligus patah hati terdalam atas meninggalnya Sapardi Djoko Damono. Jelang Timnas Indonesia Vs Argentina Jordi Amat Siap Tempur, Pratama Arhan Malah Cedera Jadwal Lengkap Pertandingan BRI Liga 1 2023 / 2024 Rapor 7 Pemain Bernomor 10 di Liverpool Sadio Mane Terdahsyat, Bagaima Nasib Alexis Mac Allister? "Selamat jalan, Eyang Sapardi Djoko Damono. Jasamu abadi, seiring karya sastramu yang meninggalkan pengaruh besar untuk generasi setelahmu. Patah hati terdalam dari kami," tulis Fiersa Besari. Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono merupakan seorang pujangga ternama di Indonesia. Sapardi Djoko Damono banyak melahirkan karya-karya yang menjadi populer. Beberapa karya Sapardi Djoko Damono antara lain, Duka-Mu Abadi 1969, Mata Pisau 1974, Perahu Kertas 1983, Sihir Hujan 1984, Hujan Bulan Juni 1994, Arloji 1998, Ayat-ayat Api 2000, Mata Jendela 2000, dan masih banyak lagi. Melalui karya-karyanya, Sapardi Djoko Damono juga banyak mendapat penghargaan-penghargaan besar baik dari dalam maupun luar negeri. Di sisi lain, awal karir menulis Sapardi dimulai dari bangku sekolah. Saat masih di sekolah menengah, karya-karyanya sudah sering dimuat di majalah. Kesukaannya menulis semakin berkembang saat kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada UGM. Dalam tulisan-tulisannya Sapardi Djoko Damono kerap meluncurkan puisi-puisi indah. Tentu banyak puisi karya Sapardi Djoko Damono yang mempunyai tempat tersendiri di hati para penggemarnya. Berikut ini redaksi tampilkan, kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono, seperti dilansir dari Minggu 19/7/2020.1. Hujan Bulan Junitak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu2. Aku InginAku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada 19893. Hatiku Selembar DaunHatiku selembar daun melayang jatuh di rumput; Nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini; ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput; Sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap Yang Fana Adalah WaktuYang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa "Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu. Kita abadi. 19785. Pada Suatu Hari NantiPada suatu hari nanti, Jasadku tak akan ada lagi, Tapi dalam bait-bait sajak ini, Kau tak akan kurelakan sendiri. Pada suatu hari nanti, Suaraku tak terdengar lagi, Tapi di antara larik-larik sajak ini. Kau akan tetap kusiasati, Pada suatu hari nanti, Impianku pun tak dikenal lagi, Namun di sela-sela huruf sajak ini, Kau tak akan letih-letihnya HanyaHanya suara burung yang kau dengar dan tak pernah kaulihat burung itu tapi tahu burung itu ada di sana Hanya desir angin yang kaurasa dan tak pernah kaulihat angin itu tapi percaya angin itu di sekitarmu Hanya doaku yang bergetar malam ini dan tak pernah kaulihat siapa aku tapi yakin aku ada dalam dirimu7. Sajak Kecil Tentang CintaMencintai angin harus menjadi siut Mencintai air harus menjadi ricik Mencintai gunung harus menjadi terjal Mencintai api harus menjadi jilat Mencintai cakrawala harus menebas jarak Mencintai-Mu harus menjelma aku8. Menjenguk Wajah di KolamJangan kau ulang lagi menjenguk wajah yang merasa sia-sia, yang putih yang pasi itu. Jangan sekali- kali membayangkan Wajahmu sebagai rembulan. Ingat, jangan sekali- kali. Jangan. Baik, Akulah Si Telagaakulah si telaga berlayarlah di atasnya; berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma; berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya; sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja — perahumu biar aku yang menjaganya. 198210. Dalam DirikuDalam diriku mengalir sungai panjang Darah namanya; Dalam diriku menggenang telaga darah Sukma namanya; Dalam diriku meriak gelombang sukma Hidup namanya! Dan karena hidup itu indah Aku menangis sepuas-puasnya. Sumber GasBanterBerita Video Spotlight 5 Pesepak Bola Top Dunia yang Gagal di Barcelona Termasuk Philippe Coutinho Sumardi juga berpendapat bahwa puisi adalah sebuah karya sastra dengan menggunakan bahasa yang telah dipadatkan, dipersingkat serta diberi irama bunyi sehingga dan memiliki kata-kata bermakna kiasan atau imajinatif. James Reeves mengemukakan pula pengertian puisi. Menurut James puisi adalah ungkapan bahasa yang memiliki kaya serta daya pikat.
ArticlePDF AvailableAbstractPuisi merupakan sebuah karya sastra yang mempunyai gaya bahasa menarik. Penggunaan bahasa dalam puisi sangat penting karena pemilihan gaya bahasa sangat diperhatikan oleh pembaca. Gaya bahasa yang terdapat pada kumpulan puisi Perahu Kertas sangat beraneka ragam. Penulis mengacu pada referensi buku Gorys Keraf mengenai diksi dan gaya bahasa. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis yang artinya data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka setelah itu dilakukan analisis. Dari buku kumpulan puisi Perahu Kertas karya Sapardi Djoko Damono berhasil ditemukan gaya bahasa retoris diantaranya aliterasi ditunjukkan dengan keempat kutipan, lalu asonansi empat kutipan, anastrof dengan dua kutipan, asyndeton juga memiliki dua kutipan, polisendeton satu kutipan, ellipsis ada dua kutipan, histeron proteron satu kutipan, pleonasme satu, dan hiperbola memiliki dua kutipan. Dalam buku puisi ini juga ditemukan gaya bahasa kiasan yaitu persamaan atau simile ditunjukkan dengan sebuah kutipan, lalu metafora ada satu kutipan, dan personofikasi ditemukan tiga kutipan. Dari seluruh penemuan ini dapat disimpulkan bahwa buku puisi ini didominasi oleh gaya bahasa retoris, karena terdapat sembilan jenis, sedangkan gaya bahasa kiasan hanya ditunjukkan dalam tiga jenis. Dari sembilan jenis gaya bahasa retoris aliterasi dan asonansi adalah yang paling banyak muncul yaitu masing-masing empat kalimat Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Volume 1 Nomor 1 November 2021 E-ISSN 9999-999x DOI 8 Jurnal Bahasa& Sastra IndonesiaAnalisis Gaya Bahasa Kumpulan Puisi Perahu Kertas Karya Sapardi Djoko Damono Riza Irayani Saragih1 Intan Maulina2 Arif Yuandana Sinaga3 Afiliation Universitas Efarina1,2,3 Corresponding email rizasaragih25 Histori Naskah Submit 2021-11-03 Accepted 2021-11-05 Published 2021-11-15 This is an Creative Commons License This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial International License Puisi merupakan sebuah karya sastra yang mempunyai gaya bahasa menarik. Penggunaan bahasa dalam puisi sangat penting karena pemilihan gaya bahasa sangat diperhatikan oleh pembaca. Gaya bahasa yang terdapat pada kumpulan puisi Perahu Kertas sangat beraneka ragam. Penulis mengacu pada referensi buku Gorys Keraf mengenai diksi dan gaya bahasa. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis yang artinya data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka setelah itu dilakukan analisis. Dari buku kumpulan puisi Perahu Kertas karya Sapardi Djoko Damono berhasil ditemukan gaya bahasa retoris diantaranya aliterasi ditunjukkan dengan keempat kutipan, lalu asonansi empat kutipan, anastrof dengan dua kutipan, asyndeton juga memiliki dua kutipan, polisendeton satu kutipan, ellipsis ada dua kutipan, histeron proteron satu kutipan, pleonasme satu, dan hiperbola memiliki dua kutipan. Dalam buku puisi ini juga ditemukan gaya bahasa kiasan yaitu persamaan atau simile ditunjukkan dengan sebuah kutipan, lalu metafora ada satu kutipan, dan personofikasi ditemukan tiga kutipan. Dari seluruh penemuan ini dapat disimpulkan bahwa buku puisi ini didominasi oleh gaya bahasa retoris, karena terdapat sembilan jenis, sedangkan gaya bahasa kiasan hanya ditunjukkan dalam tiga jenis. Dari sembilan jenis gaya bahasa retoris aliterasi dan asonansi adalah yang paling banyak muncul yaitu masing-masing empat kalimat. . Kata kunci Gaya Bahasa, Puisi, Perahu Kertas, Sapardi Djoko Damono. Pendahuluan Puisi merupakan suatu karya sastra berupa ungkapan perasaan penulis yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan dengan kata-kata yang indah dan penuh makna. Puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, merangsang imajinasi pancaindera dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan dengan memberi kesan menarik dan estetik dengan menggunakan bahasa yang khas. Bahasa yang khas tersebut biasa disebut dengan gaya bahasa. Puisi merupakan sebuah karya sastra yang mempunyai gaya bahasa menarik. Puisi umumnya berisi pesan atau ajaran moral tertentu yang ingin disampaikan kepada pembaca dalam bentuk bahasa yang memiliki makna. Penggunaan bahasa dalam puisi sangat penting karena pemilihan gaya bahasa sangat diperhatikan oleh pembaca. Pembaca sering kali sulit memaknai sebuah puisi. Oleh karena itu, banyak tahap yang harus dilalui untuk memahami makna puisi tersebut. Salah satunya dengan menganalisis unsur instrinsik puisi yaitu gaya bahasa. Volume 1 Nomor 1 November 2021 E-ISSN 9999-999x DOI 9 Jurnal Bahasa& Sastra IndonesiaGaya bahasa merupakan cara pengarang mengungkapkan pikiran atau gagasan melalui bahasa yang khas yang memperlihatkan jiwa atau kepribadian penulis atau penutur Keraf, 2010. Dengan gaya bahasa, penutur bermaksud menjadikan paparan bahasanya menarik, kaya, padat, jelas dan lebih mampu menekankan gagasan yang ingin disampaikan, menciptakan suasana tertentu dengan efek estetis. Efek estetik tersebut yang membuat karya sastra bernilai seni. Gaya bahasa yang terdapat pada kumpulan puisi Perahu Kertas sangat beraneka ragam. Penulis mengacu pada referensi buku Gorys Keraf mengenai diksi dan gaya bahasa. Keraf 2010 membagi persoalan gaya bahasa, yaitu gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung di dalamnya, dan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan makna. Bila acuan yang digunakan itu masih mempertahankan makna dasar, maka bahasa itu masih bersifat polos. Tetapi, bila sudah ada perubahan makna, berupa makna konotatifnya atau sudah menyimpang jauh dari makna denotatifnya, maka acuan itu sudah memiliki gaya bahasa. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna biasa disebut sebagai trope atau figure of spech. Istilah trope brarti “pembalikan” atau “penyimpangan”. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dibagi atas dua kelompok yaitu gaya bahasa retoris, yang semata-mata merupakan penyimpangan dan kontruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, dan gaya bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna ini banyak kita jumpai pada puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono atau yang biasa dipanggil dengan singkatan SDD. Puisi Karya Sapardi Djoko Damono terkenal dengan gaya bahasanya yang sederhana namun penuh dengan makna kehidupan. Ia banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1989, SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga menerima penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Selain itu, gaya bahasa yang digunakan Sapardi untuk menyatakan sesuatu dengan tidak biasa sehingga akan memberikan kesan kemurnian, kelembutan, keindahan, kadang-kadang mengejutkan. Kesan yang demikian, misalnya dapat kita rasakan ketika membaca kumpulan puisi Perahu Kertas karya Sapardi Djoko Damono. Penggunaan gaya bahasa dalam puisi Perahu Kertas karya Sapardi Djoko Damono dinilai sangat menarik untuk diteliti. Penggunaan gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan memberikan nilai-nilai estetis serta perbandingan terhadap karya sastra satu dengan yang lain untuk dibaca dan dipahami maknanya. Gaya bahasa merupakan pemanfaatan atas kekayaan bahasa seseorang dalam bertutur dan menulis, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek tertentu serta keseluruhan ciri bahasa. Dengan demikian, untuk memahami dan menginterpretasi sebuah karya sastra pengkajian dan penelitian tersebut harus dilakukan secara maksimal Pradopo, 2013 54. Contohnya pada salah satu puisi dalam kumpulan puisi Perahu Kertas karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul Yang Fana Adalah Waktu. Yang fana adalah waktu. Kita abadi Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari Volume 1 Nomor 1 November 2021 E-ISSN 9999-999x DOI 10 Jurnal Bahasa& Sastra Indonesiakita lupa untuk apa. “Tapi, Yang fana adalah waktu, bukan?” Tanyamu. Kita abadi. Pada puisi diatas mengandung gaya bahasa kiasan yang diantaranya simile dan metafora. Metafora merupakan gaya bahasa yang membandingkan sesuatu secara langsung. Hal itu bisa kita lihat pada baris puisi Yang fana adalah waktu. Kita abadi Pada baris tersebut tampak bahwa “waktu” merupakan yang fana dibandingkan dengan “kita” yang abadi. Padahal keduanya sangat bertentangan dengan seharusnya. Sedangkan gaya bahasa simile merupakan gaya bahasa yang membandingkan dua hal atau lebih yang hakikatnya berbeda, tetapi dianggap mengandung segi yang serupa. Hal ini dapat kita lihat pada kata “seperti” digunakan untuk membandingkan antara “detik” yang serupa dengan “bunga” yang sebenarnya keduanya tidak memiliki hubungan. Kedua penggunaan gaya bahasa tersebut berusaha membandingkan sesuatu secara langsung baik itu sama atau tidak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada kumpulan puisi Perahu Kertas karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul Yang Fana Adalah Waktu terdapat dua penggunaan gaya bahasa dalam satu puisi yaitu gaya bahasa metafora dan simile. Gaya bahasa merupakan metode terdekat yang dapat ditempuh oleh pembaca dalam memaknai suatu puisi, gaya bahasa merupakan salah satu sarana penyair untuk menyampaikan sesuatu dengan cara pengiasan bahasa secara tidak langsung dalam mengungkapkan makna. Tapi di era sekarang ini pembaca lebih sering fokus pada cerita dan keindahan kata-kata dalam sebuah karya sastra, tanpa memperhatikan jenis atau gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam karya sastra tersebut. Hal ini menyebabkan pesan yang ingin disampaikan pengarang karya sastra kepada pembaca kurang tersampaikan. Kurangnya perhatian pembaca pada jenis dan gaya bahasa dalam sebuah karya sastra terutama puisi, itulah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti gaya bahasa yang digunakan Sapardi Djoko Damono dalam kumpulan puisi Perahu Kertas. Penelitian mengenai gaya bahasa pada Kumpulan Puisi Perahu Kertas karya Sapardi Djoko Damono bertujuan untuk mendeskripsikan gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan yang terdapat dalam kumpulan puisi Perahu Kertas karya Sapardi Djoko Damono dan untuk mengetahui gaya bahasa apa yang paling dominan dalam kumpulan puisi Perahu Kertas karya Sapardi Djoko Damono. Studi Literatur Gaya bahasa merupakan cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa Keraf, 2010 112. Gaya bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan dengaan jalan memperkenalkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum Tarigan, 2013 4. Gaya bahasa merupakan susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca Pradopo, 2009 93. Gaya bahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan pemanfaatan atau kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek tertentu; keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra; cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk Volume 1 Nomor 1 November 2021 E-ISSN 9999-999x DOI 11 Jurnal Bahasa& Sastra Indonesiatulis atau lisan Depdikbud, 1995 297. Jika melihat gaya secara umum, dapat dikatakan bahwa gaya bahasa adalah cara mengungkapkan diri sendiri, melalui kegiatan berbahasa, beretika, berinteraksi, berpakaian dan sebagainya. Sementara dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa. Menurut Abrams dalam Susiati 2020 7 gaya bahasa adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa atau bagaimana seseorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Dengan gaya bahasa, penutur bermaksud menjadikan paparan bahasanya menarik, kaya, padat, jelas dan lebih mampu menekankan gagasan yang ingin disampaikan, menciptakan suasana tertentu dan menampilkan efek estetis. Efek estetis tersebutlah yang membuat karya sastra bernilai seni. Gaya bahasa yang digunakan oleh penulis pada hakikatnya adalah cara menggunakan bahasa yang setepat-tepatnya untuk melukiskan perasaan dan pikiran penulis yang berbeda dari corak bahasa sehari-hari. Gaya bahasa dapat menilai pribadi seseorang, watak, dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu sendiri. Semakin baik gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya, semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian diberikan kepadanya. Dari berbagai pengertian gaya bahasa yang sudah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan suatu gaya penulisan seseorang dengan menggunakan kata-kata yang khas yang pada umumnya sebagai pengungkapan perasaan, ide, dan gagasan penulis. Berbicara tentang masalah gaya, tidak lepas dari 1 masalah media berupa kata dan kalimat, 2 masalah hubungan gaya baik dengan kandungan makna dan nuansa keindahanya, serta 3 seluk beluk ekspresi pengarang sendiri yang akan berhubungan erat dengan masalah individual kepengarangan maupun konteks sosial masyarakat yang melatarbelakanginya Aminuddin 2011 72. Dari pernyataan tersebut gaya bahasa juga tidak terlepas dari fungsinya yaitu sebagai alat untuk meyakinkan atau mempengaruhi pembaca atau pendengar. Gaya bahasa juga berkaitan dengan situasi dan suasana pengarang. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa fungsi gaya bahasa dalam karya sastra sebagai alat untuk a. Meningkatkan selera, artinya dapat meningkatkan minat pembaca/ pendengar untuk mengikuti apa yang disampaikan pengarang/ pembicara. b. Mempengaruhi atau meyakinkan pembaca atau pendengar, artinya dapat membuat pembaca semakin yakin dan mantap terhadap apa yang disampaikan pengarang/pembicara. c. Menciptakan keadaan perasaan hati tertentu, artinya dapat membawa pembaca hanyut dalam suasana hati tertentu, seperti kesan baik atau buruk, perasaan senang atau tidak senang, benci dan sebagainya setelah menangkap apa yang dikemukakan pengarang. d. Memperkuat efek terhadap aggasan, yakni dapat membuat pembaca terkesan oleh gagasan yang disampaikan pengarang dalam karyanya. e. Secara lebih ringkas fungsi gaya bahasa adalah sebagai efek estetika dalam puisi sehingga lebih menarik, memperkuat gagasan, dan meningkatkan selera pembaca. Bahasa kias atau figure of speech adalah bahasa indah yang digunakan untuk meninggikan dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal lain yang lebih umum Tarigan, 2013 112. Gaya bahasa kiasan ini dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan, membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal lain, dan menemukan ciri-ciri yang menunjukkan persamaan antara kedua hal tersebut. Bahasa kiasan memiliki dua perbandingan, yaitu termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung, Volume 1 Nomor 1 November 2021 E-ISSN 9999-999x DOI 12 Jurnal Bahasa& Sastra Indonesiadan perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa kiasan adalah penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna Keraf, 2010 129. Altenbernd melalui Pradopo 2009 7 mendefenisikan puisi sebagai pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran menafsirkan dalam bahasa berirama bermetrum. Unsur-unsur puisi terdiri dari emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur baur Shanon Ahmad melalui Pradopo, 2009 7. Dapat disimpulkan ada tiga unsur pokok. Pertama, hal yang meliputi pemikiran, ide atau emosi; kedua, bentuknya; dan ketiga ialah kesanya. Semua itu terungkap dengan media bahasa Pradopo, 2009 7. Menurut Wiyatmi 2006 57, unsur-unsur puisi meliputi bunyi, diksi, bahasa kiasan, citraan, sarana retorika, bentuk visual, dan makna. Lebih lanjut, Jabrohim dkk 2003 33 membagi unsur puisi menjadi dua, yakni 1 unsur bentuk yang dapat disebut sebagai struktur fisik, unsur tersebut antara lain diksi, pengimajian, kata konkret, kiasan, rima dan ritme, serta tipografi. 2 Unsur isi dapat pula disebut sebagai struktur batin yang terdiri atas tema, nada, perasaan, dan amanat. Penelitian relevan yang pertama oleh Tri Windusari dalam penelitian berjudul “Gaya Bahasa pada Kumpulan Puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Dampno dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah Menengah Pertama”. Dalam kesimpulanya gaya bahasa yang digunakan dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni antara lain Gaya bahasa perbandingan sebanyak 60 gaya bahasa yang meliputi 3 gaya bahasa perumpamaan, 18 gaya bahasa metafora, 30 gaya bahasa personifikasi dan 9 gaya bahasa alegori; gaya bahasa pertentangan sebanyak 20 gaya bahasa yang meliputi 11 gaya bahasa hiperbola, 1 gaya bahasa litotes, 5 gaya bahasa paradox, 1 gaya bahasa klimaks, 1 gaya bahasa antiklimaks, dan 1 gaya bahasa hipalase; gaya bahasa pertautan sebanyak 21 gaya bahasa yang meliputi 3 gaya bahasa aliterasi, 2 gaya bahasa asonansi, 1 gaya bahasa epizokies, 7 gaya bahasa anaphora, 6 gaya bahasa mesodiplosis, dan 2 gaya bahasa epanalepis. Tri Windusari menggunakan meode deskriptif analisis dalam penelitianya dengan teknik pengumpulan data yaitu teknik observasi dan dokumentasi. Penelitian relevan yang ketiga oleh Fitria Agustina, Antonius Totok Priyadi dan Abdussamad dalam bentuk jurnal yang berdulul “Analisis Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna pada Kumpulan Cerpen Pak Tungkor Karya Mariyadi”. Dalam kesimpulanya dari kumpulan Cerpen Pak Tungkor ada 11 judul cerpen, dan peneliti menemukan 7 gaya bahasa retoris. Ketujuh gaya bahasa tersebut yaitu 105 gaya bahasa aliterasi, 48 gaya bahasa asonansi, 8 gaya bahasa asidenton, 1 gaya bahasa ellipsis 12 gaya bahasa eufemismus, 17 gaya bahasa perifarasis dan 5 gaya bahasa hiperbola. Peneliti menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan struktural. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Sesuai dengan pendapat Meleong 2010 6 penelitian kulaitatif adalah penelitian yang bermaksud memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan sebagai metode ilmiah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis artinya adalah data dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka setelah itu dilakukan analisis. Menurut Ratna 2010 53 metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mengumpulkan fakta- Volume 1 Nomor 1 November 2021 E-ISSN 9999-999x DOI 13 Jurnal Bahasa& Sastra Indonesiafakta dan kemudian disusul dengan analisis. Metode deskriptif juga disebut sebagai metode yang menguraikan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan yaitu dengan mengumpulkan data, mengklasifikasikan dan menginterprestasikan data tentang analisis gaya bahasa dalam kumpulan puisi Perahu Kertas karya Sapardi Djoko Damono. Hasil Dari buku kumpulan puisi Perahu Kertas karya Sapardi Djoko Damono berhasil ditemukan beberapa gaya bahasa retoris diantaranya aliterasi ditunjukkan dengan keempat kutipan, lalu asonansi empat kutipan, anastrof dengan dua kutipan, asyndeton juga memiliki dua kutipan, polisendeton satu kutipan, ellipsis ada dua kutipan, histeron proteron satu kutipan, pleonasme satu, dan hiperbola memiliki dua kutipan. Selain gaya bahasa retoris dalam buku puisi ini juga ditemukan gaya bahasa kiasan yaitu persamaan atau simile ditunjukkan dengan sebuah kutipan, lalu metafora ada satu kutipan, dan personofikasi ditemukan tiga kutipan. Pembahasan Bentuk gaya bahasa dalam kumpulan puisi Perahu Kertas karya Sapardi Djoko Damono berdasarkan langsung tidaknya makna yaitu, 1 gaya bahasa retoris dan 2 gaya bahasa kiasan. Berikut pemaparanya Analisis Gaya Bahasa Retoris Adapun bentuk gaya bahasa retoris yang diperoleh dari hasil analisis kumpulan puisi Perahu Kertas karya Sapardi Djoko Damono yaitu a. Aliterasi Aliterasi adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama dalam baris-baris puisi. Penggunaan gaya bahasaaliterasi ini ditemukan dalam puisi “Kuterka Gerimis”, “Tuan”, “Kukirimkan Padamu” dan “Tekukur”. Penggunaan gaya bahasa alitersi pada puisi “Kuterka Gerimis”. Data 01 Seperti nanah yang meleleh Dari ujung-ujung jarum Jam dinding Sapardi, 2018 11 Kutipan puisi di atas menunjukkan gaya bahasa aliterasi. Hal itu tampak pada baris kedua terdapat pengulangan konsonan yang sama yaitu konsonan /g/ dan /m/ pada kata “ujung-ujung”, “jarum”, dan “jam”. Selain itu, pada baris kedua juga terdapat pengulangan konsonan yang sama yaitu konsonan /j/ pada kata “jarum” dan “jam”. Pengulangan konsonan yang sama pada kata-kata dalam penggalan puisi pengarang dimaksudkan untuk menghadirkan efek estetis sebagai unsur perhiasan atau unsur penekanan. Volume 1 Nomor 1 November 2021 E-ISSN 9999-999x DOI 14 Jurnal Bahasa& Sastra IndonesiaPenggunaan gaya bahasa aliterasi pada puisi “Tuan” terdapat pada baris pertama. Data 02 Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, Sapardi, 2018 33 Kutipan puisi di atas menunjukkan gaya bahasa aliterasi. Hal itu tampak pada pengulangan konsonan /n/ pada kata “Tuan”, “Tuhan” dan “bukan”. Pengulangan konsonan tersebut bertujuan untuk memberikan efek penekanan yang indah dalam puisi tersebut. Penggunaan gaya bahasa aliterasi pada puisi “Kukirimkan Padamu” terdapat pada kutipan berikut. Data 03 Dan bunga-bunga, bangku dan beberapa Oran tua, burung-burung merpati Sapardi, 2018 13 Kutipan puisi di atas menunjukkan gaya bahasa aliterasi. Hal itu tampak pada pengulangan konsonan /b/ pada kata “bunga-bunga”, “bangku”, “beberapa”, dan “burung-burung”. Pengulangan konsonan tersebut bertujuan untuk memberikan efek penekanan yang indah dalam puisi tersebut. Penggunaan gaya bahasa aliterasi pada puisi “Tekukur” terdapat pada kutipan berikut. Data 04 sambar-menyambar sebentar, lalu bersandar pada daun-daun rumput Sapardi, 2018 71 Kutipan puisi diatas menunjukkan gaya bahasa aliterasi. Hal itu tampak pada pengulangan konsonan /r/ pada kata “sambar”, “menyambar”, “sebentar”, “bersandar” dan “rumput”. Pengulangan konsonan yang sama pada kata-kata dalam penggalan puisi pengarang dimaksudkan untuk menghadirkan efek estetis sebagai unsur perhiasan atau unsur penekanan. b. Asonansi Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Penggunaan gaya bahasa aliterasi ini ditemukan dalam puisi “Kukirimkan Padamu”, “Akulah Si Telaga”, “Tuan” dan “Tajam Hujanmu”. Penggunaan gaya bahasa asonansi pada puisi “Kukirimkan Padamu” terdapat pada baris ketiga. Data 05 Dan bunga-bunga, bangku dan beberapa orang tua, burung-burung merpati Volume 1 Nomor 1 November 2021 E-ISSN 9999-999x DOI 15 Jurnal Bahasa& Sastra IndonesiaSapardi, 2018 13 Kutipan puisi di atas, menunjukkan penggunaan gaya bahasa asonansi. Hal tersebut dapat dilihat pada pengulangan bunyi vocal /a/ dalam kata dan’, bunga-bunga’, bangku’, beberapa’, orang’ dan tua’. Kemudian terdapat juga pengulangan bunyi vokal /u/ dalam kata bunga-bunga’, bangku’, tua’ dan burung-burung’. Pengulangan bunyi vokal yang sama dalam penggalan puisi tersebut dimaksudkan untuk menambah kesan estetis atau efek penekanan dalam puisi. Penggunaan gaya bahasa asonansi pada puisi “Akulah Si Telaga” terdapat pada kutipan puisi berikut. Data 06 Akulah si telaga berlayar diatasnya; Berlayar menyibakkan riak-riak kecil yang Menggerak-gerakkan bunga-bunga padma Sapardi, 2018 15 Kutipan puisi di atas menunjukkan penggunaan gaya bahasa asonansi. Hal tersebut dapat dilihat pada pengulangan bunyi vocal /a/. Pengulangan bunyi vokal yang sama dalam penggalan puisi tersebut dimaksudkan untuk menambah kesan estetis atau efek penekanan dalam puisi. Penggunaan gaya bahasa asonansi pada puisi “Tuan” terdapat pada baris pertama. Data 07 Tuan, Tuhan, bukan? Sapardi, 2018 33 Kutipan puisi di atas menunjukkan penggunaan gaya bahasa asonansi. Hal tersebut dapat dilihat pada pengulangan bunyi vokal /u/ dan /a/ dalam kata Tuan’, Tuhan’ dan bukan’. Pengulangan bunyi vokal yang sama dalam penggalan puisi tersebut dimaksudkan untuk menambah kesan estetis atau efek penekanan dalam puisi. Penggunaan gaya bahasa asonansi pada puisi “Tajam Hujanmu” terdapat pada kutipan berikut. Data 08 Tajam hujanmu Ini sudah terlanjur mencintaimu Deras dinginmu Sembilu hujanmu Sapardi, 2018 43 Kutipan puisi di atas menunjukkan penggunaan gaya bahasa asonansi. Hal tersebut dapat dilihat pada pengulangan bunyi vokal /u/ pada kata “hujanmu”, “sudah”, “mencintaimu” dan “dinginmu”. Volume 1 Nomor 1 November 2021 E-ISSN 9999-999x DOI 16 Jurnal Bahasa& Sastra IndonesiaPengulangan bunyi vokal yang sama dalam penggalan puisi tersebut dimaksudkan untuk menambah kesan estetis atau efek penekanan dalam puisi. c. Anastrof Anastrof atau inversi adalah semacam gaya bahasa retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Penggunaan gaya bahasa anastrof ini ditemukan pada puisi “Akulah Si Telaga”dan “Pesta”. Penggunaan gaya bahasa anastrof pada puisi “Akulah Si Telaga” terdapat pada baris ke-enam. Data 09 Perahumu biar aku saja yang menjaganya Sapardi, 2018 15 Kutipan puisi di atas, menunjukkan gaya bahasa anastrof. Hal ini dapat dilihat pada kutipan puisi tersebut, terdapat pembalikkan susunan kata-kata yaitu penempatan kata “perahumu” sebagai objek seharusnya berada diakhir kalimat. Selanjutnya frase “biar aku saja” sebagai subjek seharunya berada diawal baris. Pada frase “yang menjaganya” sebagai predikat seharusnya berada di tengah kalimat. Dalam hal ini kata ganti “nya” sebagai kata ganti orang seharusnya tidak perlu digunakan. Dengan demikian, susunan penempatan kata-kata tersebut jika mengikuti kaidah tata baku seharusnya seperti berikut ini “Biar aku saja yang menjaga perahumu” Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat diketahui perbedaan antara struktur kalimat yang digunakan pada teks sastra dalam hal ini puisi dengan susunan teks nonsastra yang mengikuti kaidah tata bahasa baku. Penggunaan gaya bahasa anastrof puisi “Pesta” terdapat pada baris ke-enam. Data 10 Di sumur itu, si Pembunuh membasuh muka, tangan, dan kakinya Sapardi, 2018 17 Kutipan puisi di atas, menunjukkan gaya bahasa anastrof. Hal ini dapat dilihat pada kutipan puisi tersebut, terdapat pembalikkan susunan kata-kata yaitu penempatan kata “di sumur itu” sebagai keterangan tempat seharusnya berada diakhir kalimat. Selanjutnya frase “si Pembunuh” sebagai subjek seharunya berada diawal baris. Pada frase “membasuh” sebagai predikat berada di tengah kalimat dan kata “muka, tangan, dan kakinya” sebagai objek yang melengkapi predikat. Dengan demikian, susunan penempatan kata-kata tersebut jika mengikuti kaidah tata baku seharusnya seperti berikut ini “Si Pembunuh membasuh muka, tangan, dan kakinya di sumur itu”. Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat diketahui perbedaan antara struktur kalimat yang digunakan pada teks sastra dalam hal ini puisi dengan susunan teks nonsastra yang mengikuti kaidah tata bahasa baku. d. Asindeton Asindeton adalah suatu gaya yang bersifat padat dan mampat beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat namun tidak dihubungkan dengan kata sambung. Penggunaan gaya bahasa asidenton ini ditemukan pada puisi “Sudah Kutebak” dan “Kukirimkan Padamu”. Volume 1 Nomor 1 November 2021 E-ISSN 9999-999x DOI 17 Jurnal Bahasa& Sastra IndonesiaPenggunaan gaya bahasa asindeton pada puisi “Sudah Kutebak” terdapat pada baris keempat, kelima dan keenam. Data 11 Menggosok-gosokkan tubuh di karang-karang, Menyambar, berputar-putar membuat lingkaran, Menyambar, mabok membentur Sapardi, 2018 31 Kutipan puisi di atas, menunjukkan gaya bahasa asindeton. Hal ini dapat dilihat pada kutipan puisi tersebut yang tidak menggunakan kata sambung untuk menghubungkan kata yang satu dengan kata yang lainnya. Penulis menggunakan tanda koma untuk memisahkan frasa demi frasa. Hal itu digunakan penulis untuk menimbulkan efek keindahan dalam sebuah puisi. Penggunaan gaya bahasa asindeton pada puisi “Kukirimkan Padamu” terdapat pada baris pertama. Data 12 Kukirimkan padamu kartu pos bergambar, istriku, Sapardi, 2018 13 Kutipan puisi di atas, menunjukkan gaya bahasa asindeton. Kutipan di atas membuktikan gaya bahasa asindeton yang digunakan sebagai acuan serta dipisahkan dengan tanda koma. Gaya bahasa asindeton ini memisahkan kata bergambar dan istriku yang bersifat padat dan sederajat. e. Polisindeton Polisindeton adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari asindeton. Kata, frasa, atau klausa dalam polisindeton yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung. Penggunaan gaya bahasa polisindeton ini ditemukan pada puisi “Kukirimkan Padamu”. Penggunaan gaya bahasa polisindeton pada puisi “Kukirimkan Padamu" terdapat pada penghgalan puisi berikut. Data 13 sebuah taman kota, rumputan dan bunga-bunga, bangku dan beberapa orang tua, burung-burung merpati dan langit yang entah Sapardi, 201813 Kutipan puisi di atas, menunjukkan gaya bahasa polisindeton. Hal ini dapat dilihat dari penggalan puisi tersebut yang menggunakan kata hubung “dan” untuk menghubungkan antara kata yang satu dengan yang lainnya. Hal tersebut dimaksudkan untuk menambah keindahan dari sebuah puisi. Volume 1 Nomor 1 November 2021 E-ISSN 9999-999x DOI 18 Jurnal Bahasa& Sastra Indonesiaf. Elipsis Elipsis adalah sejenis gaya bahasa yang menghilangkan kata yang berada didalamnya dan akan ditafsirkan masing-masing oleh mitra tuturnya. Penggunaan gaya bahasa ellipsis ini ditemukan pada puisi “Benih” dan “Angin 3”. Penggunaan gaya bahasa ellipsis pada puisi “Benih” terdapat pada penggalan puisi berikut. Data 14 Tetapi…,” Sita yang hamil itu tetap diam sejak semula, Sapardi, 2018 78 Penggunaan gaya bahasa elipsis ditunjukkan pada bagian rumpang yaitu tetapi... tujuan pengarang memberikan gaya bahasa elipsis yaitu untuk memanfaatkan imajinasi pembaca dalam memberikan pesan yang ingin disampaikan. Penggunaan gaya bahasa ellipsis pada puisi “Angin 3” terdapat pada penggalan puisi berikut. Data 15 Seandainya aku bukan…’ Tapi kau angin! Tapi kau Harus tak letih-letihnya beringsut dari sudut ke sudut kamar, menyusup di celah-celah jendela, Berkelabat di pundak bukit Sapardi, 2018 27 Penggunaan gaya bahasa elipsis ditunjukkan pada bagian rumpang yaitu Seandainya aku bukan...’ tujuan pengarang memberikan gaya bahasa elipsis yaitu untuk memanfaatkan imajinasi pembaca dalam memberikan pesan yang ingin disampaikan. g. Histeron Proteron Histeron proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau sesuatu yang wajar. Penggunaan gaya bahasa histeron proteron ini ditemukan pada puisi “Yang Fana Adalah Waktu”. Penggunaan gaya bahasa histeron proteron pada puisi “Yang Fana Adalah Waktu” terdapat pada penggalan puisi berikut. Data 16 Yang fana adalah waktu. Kita abadi Sapardi, 2018 35 Volume 1 Nomor 1 November 2021 E-ISSN 9999-999x DOI 19 Jurnal Bahasa& Sastra IndonesiaKutipan puisi di atas, menunjukkan gaya bahasa histeron proteron. Hal ini dapat dilihat pada kutipan “yang fana adalah waktu” dan “kita abadi” yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis. Pada kenyataanya, yang fana adalah “kita” dan “waktu” adalah abadi. Penulis puisi membuat terbalik dengan kenyataan yang ada untuk menambah kesan estetis dalam sebuah puisi. h. Pleonasme Pleonasme acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlakukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Penggunaan gaya bahasa pleonasme ini ditemukan pada puisi “Bunga 3”. Penggunaan gaya bahasa pleonasme pada puisi “Bunga 3” terdapat pada kutipan puisi berikut. Data 17 Lalu terdengar seperti gema “hai siapa gerangan yang Membawa pergi jasadku?” Sapardi, 2018 7 Kutipan tersebut menggunakan gaya bahasa pleonasme. Hal ini dapat dilihat dari kutipan “terdengar seperti gema” yang merupakan bentuk penggunaan kata-kata berlebihan. Kata yang yang berlebihan tersebut apabila dihilangkan, artinya tetap utuh. Dalam hal ini kata “terdengar” mengacu pada suara atau bunyi, begitu pula dengan “gema” mengacu pada suara atau bunyi. Dengan demikian, apabila kata “gema” dihilangkan, maka kutipan “lalu terdengar, “hai siapa gerangan yang membawa pergi jasadku?”” masih memiliki arti yang utuh. Penggunaan gaya bahasa tersebut dimaksudkan untuk memberikan efek ketertarikan pembaca atau pendengar terhadap puisi tersebut. i. Hiperbola Hiperbola adalah gaya bahasa yang mempergunakan kata terlalu berlebihan dari fakta yang sebenarnya. Penggunaan gaya bahasa hiperbola ditemukan pada puisi “Puisi Cat Cair untuk Rizki” yang terdapat pada kutipan berikut. Data 18 “jangan brisik, mengganggu hujan!” Sapardi,2018 39 Kutipan puisi di atas, menunjukkan penggunaan gaya bahasa hiperbola. Hal ini dapat dilihat pada kutipan “jangan berbisik, mengganggu hujan” merupakan pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan sesuatu. Pernyataan “jangan berbisik, mengganggu hujan” tidak dapat diterima oleh akal sehat karena, bentuk pernyataan tersebut digunakan hanya untuk menimbulkan efek yang mendalam terhadap sebuah puisi. Penggunaan gaya bahasa hiperbola ditemukan pada puisi “Pesan” yang terdapat pada kutipan berikut. Volume 1 Nomor 1 November 2021 E-ISSN 9999-999x DOI 20 Jurnal Bahasa& Sastra IndonesiaData 19 bahwa memang kebetulan jantungku tertembus anak panahnya. Sapardi, 2018 73 Kutipan puisi di atas menumjukkan penggunaan gaya bahasa hiperbola pada larik “Bahwa memang kebetulan jantungku tertembus anak panahnya”, yang memiliki makna peristiwa yang mencekam dengan tertembus anak panah dijantungnya. Kalimat bahwa memang kebetulan jantungku tertembus anak panahnya memiliki kesan yang melebih-lebihkan yang terdapat pada data bahwa memang kebetulan jantungku tertembus anak panahnya. Pada dasarnya perkatan tersebut terlalu membesar-besarkan peristiwa yang terjadi pada saat itu. Analisis Gaya Bahasa Kiasan Adapun bentuk gaya bahasa retoris yang diperoleh dari hasil analisis kumpulan puisi Perahu Kertas karya Sapardi Djoko Damono yaitu a. Persamaan atau Simile Persamaan atau simile adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain yang mempergunakan kata-kata pembanding bak, bagai, sebagai, semisal, seumpama, laksana sepantun, penaka, se, dan kata-kata pembanding lain. Penggunaan gaya bahasa hiperbola ditemukan pada puisi “Kuterka Gerimis” terdapat pada kutipan berikut. Data seperti nanah yang meleleh dari ujung-ujung jarum jam dinding yang berhimpit ke atas itu seperti badai rintik-rintik yang di luar itu Sapardi, 2018 11 Kutipan puisi di atas, menunjukkan gaya bahasa persamaan atau simile. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan “seperti nanah yang melelh dari ujung-ujung jarum jam dinding” dan “seperti badai rintik-rintik di luar itu” merupakan sesuatu yang disamakan oleh penulis yang sebenarnya tidak sama, tapi dianggap sama oleh penulis puisi tersebut. Persamaan itu dinyatakan dengan penggunaan kata “seperti” sebagai penanda gaya bahasa persamaan atau simile. Persamaan atau simile digunakan untuk menunjukkan suatu kesamaan antara kedua hal tersebut, yang sebenarnya tidak sama. b. Metafora Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan sesuatu dengan hal lain dan tidak menggunakan kata hubung atau kata pembanding. Volume 1 Nomor 1 November 2021 E-ISSN 9999-999x DOI 21 Jurnal Bahasa& Sastra IndonesiaPenggunaan gaya bahasa metafora ditemukan pada puisi “Hatiku Selembar Daun” yang terdapat pada kutipan berikut. Data Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput Sapardi, 2018 67 Kutipan puisi di atas, menunjukkan penggunaan gaya bahasa metafora. Hal ini dapat dilihat pada kutipan “hatiku selembar daun” dimana dalam teks puisi tersebut bukan untuk menyatakan maksud “hatinya adalah selembar daun”, melainkan untuk menggambarkan bahwa “hatinya seperti sebuah daun yang mudah rapuh”. c. Personifikasi Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. Penggunaan gaya bahasa personifikasi ditemukan pada puisi “Bunga, 1” terdapat pada kutipan berikut. Data Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Sapardi, 2018 3 Kutipan puisi di atas menunjukkan penggunaan gaya bahasa personifikasi. Hal ini dapat dilihat dari kutipan “bahkan bunga rumput itu pun berdusta”. “Bunga rumput” dikiaskan oleh gaya bahasa personifikasi yang seolah-olah bunga layaknya manusia yang dapat berdusta. Padahal makna secara harfiah bunga adalah sebuah tumbuhan yang elok warnanya. Selain itu, personifikasi ditemukan pada data sebagai berikut. Data cuaca berdenyut ketika nampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu; Sapardi, 2018 3 Kutipan puisi di atas menunjukkan penggunaan gaya bahasa personifikasi. Hal ini dapat dilihat dari kutipan “cuaca berdenyut ketika nampak sekawanan gagak”. Dari kutipan tersebut menunjukkan bahwa “siang” seolah-olah berdenyut. Makna secara harfiah, Siang adalah bagian hari yang terang dari matahari terbit hingga matahari tenggelam. Siang mengiaskan berdenyut dengan seolah-olah hidup dalam denyutan nadi seperti layaknya manusia. Hal ini yang menunjukkan adanya bentuk gaya bahasa kiasan personifikasi yang mengiaskan Siang sebagai layaknya manusia yang memiliki nadi untuk berdenyut layaknya manusia hidup. Volume 1 Nomor 1 November 2021 E-ISSN 9999-999x DOI 22 Jurnal Bahasa& Sastra IndonesiaKesimpulan Terdapat sembilan gaya bahasa retoris dalam kumpulan buku puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul Perahu Kertas, yaitu aliterasi, asonansi, anastrof, asindeton, polisendeton, ellipsis, histeron proteron, pleonasme, dan hiperbola, tidak hanya itu gaya bahasa kiasan juga ditemukan dalam buku ini. Ada ada tiga gaya bahasa kiasan diantaranya yaitu persamaan atau simile, metafora, personifikasi. Masing-masing dari gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan memiliki kutipan masing-masing dan dari seluruh penemuan ini dapat disimpulkan bahwa buku puisi ini didominasi oleh gaya bahasa retoris, karena terdapat sembilan jenis, sedangkan gaya bahasa kiasan hanya ditunjukkan dalam tiga jenis. Dari sembilan jenis gaya bahasa retoris aliterasi dan asonansi adalah yang paling banyak muncul yaitu masing-masing empat kalimat. Ucapan Terima Kasih opsional Penulis menyadari bahwa dalam penulisan artikel ini masih sangat jauh dari kesempurnaan baik dari segi penyusunan bahasa maupun dari segi isinya. Maka dari itu penulis sangat mengharapkan kritikan atau saran yang bersifat membangun. Penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Efarina yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Bapak dan Ibu yang telah sabar dan penuh kasih sayang mendidik, dan mendoakan dengan keikhlasan hati, memberikan semangat, dan mendampingi dalam menggapai cita-cita, juga keluarga dan semua pihak yang tidak mungkin disebutkan disebutkan satu per satu yang telah membantu menyelesaikan artikel ini. Referensi Agustina, Fitria, dkk. 2018. Analisi Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna Pada Kumpulan Cerpen Karya Mariyadi. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran. FKIP. Untan. Pontianak. Aminuddin. 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung Sinar Baru Algesindo. Damono, Sapardi Djoko. 1983. Perahu Kertas. Jakarta PT Gramedia Pustaka Utama. Jabrohim, dkk. 2003. Cara Menulis Kreatif Puisi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Meleong, Lexy J. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung PT Remaja Rosdakarya. Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta Gajah Mada University Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humanira Pada Umumnya. Pustaka Pelajar Yogyakarta. Sayuti, Suminto A. 2002. Berkenalan dengan Puisi. Salatiga Widya Sari Press. Volume 1 Nomor 1 November 2021 E-ISSN 9999-999x DOI 23 Jurnal Bahasa& Sastra IndonesiaSusiati, S. 2020. Gaya Bahasa Secara Umum Dan Gaya Bahasa Pembungkus Pikiran. Univ. Iqra Buru, Maluku Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung Angkasa. Tarigan, Henry Guntur. 2013. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung Angkasa. Windusari, Tri. 2014. Gaya Bahasa Kumpulan Puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah Menengah Pertama. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta Pustaka. ... This is because the language of poetry experiences deviations that are deliberately carried out by the author to create the aesthetics of poetry Ariana, 2016. The writer chooses the anthology of the poetry Perahu Kertas by Sapardi Djoko Damono as the object of this study because this poem describes human life that actually has passed or will pass but has not been given careful attention by humans Saragih et al., 2021. ...This study aims to describe the form and function of figurative language in the poetry anthology Perahu Kertas by Sapardi Djoko Damono, describe the form and function of images used in the anthology of poetry Perahu Kertas by Sapardi Djoko Damono, and explain the relationship of figurative language with images in the poetry anthology Perahu Kertas by Sapardi Djoko Damono. The analytical method used is descriptive semiotic analysis through heuristics and hermeneutic reading to uncover stylistic aspects and comparative analysis to explain the relationship between form and function of figurative language and imagery in the anthology of the poetry Perahu Kertas by Sapardi Djoko Damono. The results of the research based on data analysis revealed that the figurative language found is dominated by a limited number of figures of speech and idioms. It was found that the function of figure of speech was to create aesthetic effects and compare meaning. Also, the image data was found to be dominated by motion images with the function of reinforcing meaning to form imagery for the reader. The results also showed that there was a relationship between figurative language forms and imagery in the anthology of Perahu Kertas by Sapardi Djoko Damono.... Sastra dan bahasa juga diteliti sekaligus seperti penelitian yang menganalisis gaya bahasa kajian ilmu bahasa pada puisi kajian ilmu sastra Sinaga, 2022. Begitu juga keterampilan menulis dapat diteliti berdasarkan keterampilan menulis karya sastra . ...Nani SolihatiAde Hikmat Syarif HidayatullahIntegrasi Al-Islam Kemuhammadiyah AIK dalam kegiatan pembelajaran telah banyak dilakukan. Namun, integrasi AIK dalam pembelajaran bahasa Indonesia belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan berbagai bentuk integrasi AIK dalam pembelajaran Bahasa Indonesia serta bagaimana persepsi mahasiswa terhadap integrasi tersebut. Penelitian ini menggunakan teknik observasi dan portofolio dengan melihat proses pembelajaran dan komponen pembelajaran. Untuk mengetahui respons mahasiswa terhadap temuan observasi dan portofolio tersebut, peneliti menyebarkan kuesioner kepada delapan mahasiswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa integrasi AIK dalam pembelajaran bahasa Indonesia dilakukan dalam aspek sikap dan pengetahuan. Mayoritas mahasiswa di setiap komponen kuesioner menjawab sangat setuju terhadap konsep-konsep Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna Pada Kumpulan Cerpen Karya MariyadiFitria AgustinaAgustina, Fitria, dkk. 2018. Analisi Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna Pada Kumpulan Cerpen Karya Mariyadi. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran. FKIP. Untan. Apresiasi Karya SastraAminuddinAminuddin. 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung Sinar Baru dan Gaya Bahasa. Jakarta. PT Gramedia Pustaka UtamaGorys KerafKeraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Penelitian Kualitatif. Bandung PT Remaja RosdakaryaLexy J MeleongMeleong, Lexy J. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung PT Remaja A SayutiSayuti, Suminto A. 2002. Berkenalan dengan Puisi. Salatiga Widya Sari Press. Jurnal Bahasa & Sast ra IndonesiaGaya Bahasa Secara Umum Dan Gaya Bahasa Pembungkus PikiranS SusiatiSusiati, S. 2020. Gaya Bahasa Secara Umum Dan Gaya Bahasa Pembungkus Pikiran. Univ. Iqra Buru, MalukuHenry TariganGunturTarigan, Henry Guntur. 2013. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta Pustaka.
ABSTRAKMar'atul Dini Latif Mahmudah. K1215031. ANALISIS KAJIAN STILISTIKA BUKU KUMPULAN PUISI PERIHAL GENDIS KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER SERTA RELEVANSINYA DENGAN BAHAN AJAR MENULIS PUISI DI SEKOLAH MENENGAH ATAS. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Mei 2019.
MANUSKRIP PUISI HUJAN BULAN JUNI Sapardi Djoko Damono Hujan Bulan Juni oleh Sapardi Djoko Damono GM 050 Penerbit PT. Grasindo, Jl. Palmerah Selatan 28, Jakarta 10270 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All rights reserved Diterbitkan pertama kali oleh penerbit PT. Grasindo, Anggota IKAPI, Jakarta, 1994 Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan KDT ISBN 979-553-467-X Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 2 PENGANTAR Sajak-sajak dalam buku ini saya pilih dari sekian ratus sajak yang saya hasilkan selama 30 tahun, antara 1964 sampai dengan 1994. Sajak saya pertama kali dimuat di ruangan kebudayaan sebuah tabloid di Semarang pada tahun 1957, sewaktu saya masih menjadi murid SMA; Namun, ini tidak berarti bahwa ratusan sajak yang ditulis selama 1957-1964 tidak saya pertimbangkan untuk buku ini. Sajak-sajak itu tidak dipilih mungkin sekali karena saya pikir lebih sesuai untuk dikumpulkan di buku lain, yang suasananya – atau entah apanya – agak berbeda dari buku ini. Ini berarti bahwa ada juga sesuatu yang mengikat sajak-sajak ini menjadi satu buku. Saya sendiri tidak tahu apakah selama 30 tahun itu ada perubahan stilistik dan tematik dalam puisi saya. Seorang penyair belajar dari banyak pihak keluarga, penyair lain, kritikus, teman, pembaca, tetangga, masyarakat luas, Koran, telecisi, dan sebagainya. Pada dasarnya, penyair memang tidak suka diganggu, namun sebenarnya ia suka juga, mungkin secara sembunyi-sembunyi, nguping pendapat pembaca. Itulah yang merupakan tanda bahwa ia tidak hidup sendirian saja di dunia; itulah pula tanda bahwa puisi yang ditulisnya benar-benar ada. Sebagian besar sajak-sajak dalam buku ini pernah terbit dalam ebberapa kumpulan sajak, sejumlah sajak pernah dimuat di Koran dan majalah, satu-dua sajak belum pernah dipublikasikan. Hampir dua tahu lamanya saya mempertimbangkan penerbitan buku ini, bukan karena sajak-sajak saya berceceran dan sulit dilacak, tetapi karena saya suka meragukan keuntungan yang mungkin bias didapat oleh pembaca maupun penerbit buku ini. Dalam hal terakhir itu sudah selayaknya saya mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Pamusuk Eneste dari penerbit PT Grsindo yang tidak jemu-jemu meyakinkan saya akan perlunya menerbitkan serpihan sajak ini. Terima kasih tentu saja saya sampaikan juga kepada siapa pun yang telah memberi dan merupakan ilham bagi sajak-sajak ini, tentang apalagi puisi kalau tidak tentang mereka, manusia Jakarta, Juni 1994 Sapardi Djoko Damono Catatan Diketik ulangnya sajak-sajak ini dimaksudkan sebagai buah kecintaan dan rasa kagum saya pada karya-karya penyair Indonesia Bapak Sapardi Djoko Damono. Dan juga sebagai upaya penyediaan sarana pembelajaran sastra bagi siapa pun. Penulisan ulang ini diupayakan mengikuti rancang bangun puisi-pusi tersebut dan memiminalisir kesalahan ketik. Mohon, untuk tidak menghapus catatan ini sebagai pertanggung jawaban saya sebagai pihak yang mengetik ulang. Terima kasih. Kritik dan saran soal manuskrip ini kirimkan ke [email protected] Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 3 DAFTAR ISI Pengantar Pada Suatu Malam Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati Saat Sebelum Berangkat Berjalan di Belakang Jenazah Lanskap Hujan Turun Sepanjang Jalan Kita Saksikan Dalam Sakit Sonet Hei! Jangan Kaupatahkan Ziarah Dalam Doa I Dalam Doa II Dalam Doa III Ketika Jari-jari Bunga Terbuka Sajak Perkawinan Gerimis Kecil di Jalan Jakarta, Malang Kupandang Kelam yang MErapat ke Sisi Kita Bunga-bunga di Halaman Pertemuan Sonet X Sonet Y Jarak Hujan Dalam Komposisi, 1 Hujan Dalam Komposisi, 2 Hujan Dalam Komposisi, 3 Varisai pada Suatu Pagi Malam Itu Kami di Sana Di Beranda Waktu Hujan Kartu Pos Bergambar Taman Umum, New York New York, 1971 Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago Kartu Pos Bergambar Jembatan “Golden Gate”, San Fransisco Jangan Ceritakan Tulisan di Batu Nisan Mata Pisau Tentang Matahari Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari Cahaya Bulan Tengah Malam Narcissus Catatan Masa Kecil, 1 Catatan Masa Kecil, 2 Catatan Masa Kecil, 3 Akuarium Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 4 Sajak, 1 Sajak, 2 Di Kebun Binatang Percakapan Malam Hujan Telur, 1 Telur, 2 Sehabis Suara Gemuruh Muara Sepasang Sepatu Tua Di Banjar Tunjuk, Tabanan Sungai, Tabanan Kepada I Gusti Ngurah Bagus Bola Lampu Pada Suatu Pagi Hari Bunga, 1 Bunga, 2 Bunga, 3 Puisi Cat Air untuk Rizki Lirik untuk Lagu Pop Tiga Lembar Kartu Pos Sandiwara, 1 Sandiwara, 2 Lirik untuk Imporvisasi Jazz Yang Fana adalah Waktu Tuan Cermin, 1 Cermin, 2 Dalam Diriku Kuhentikan Hujan Benih Di Tangan Anak-anak Di Atas Batu Angin, 3 Cara Membunuh Burung Sihir Hujan Metamorfosis Perahu Kertas Kami bertiga Telinga Aku Ingin Sajak-sajak Empat Seuntai Di Restoran Dalam Doa’ku Pada Suatu Hari Nanti Sita Sihir Batu Maut Hujan, Jalak dan Daun Jambu Ajaran Hidup Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 5 Terbangnya Burung Pada Suatu Malam ia pun berjalan ke barat, selamat malam, solo, katanya sambil menunduk. seperti didengarnya sendiri suara sepatunya satu persatu. barangkali lampu-lampu ini masih menyala buatku, pikirnya. kemudian gambar-gambar yang kabur dalam cahaya, hampir-hampir tak ia kenal lagi dirinya, menengadah kemudian sambil menarik nafas panjang ia sendiri saja, sahut menyahut dengan malam, sedang dibayangkannya sebuah kapal di tengah lautan yang memberontak terhadap kesunyian. sunyi adalah minuman keras, beberapa orang membawa perempuan beberapa orang bergerombol, dan satu-dua orang menyindir diri sendiri; kadang memang tak ada lelucon lain. barangkali sejuta mata itu memandang ke arahku, pikirnya. ia pun berjalan ke barat, merapat ke masa lampau. selamat malam, gereja, hei kaukah anak kecil yang dahulu duduk menangis di depan pintuku itu? ia ingat kawan-kawannya pada suatu hari natal dalam gereja itu, dengan pakaian serba baru, bernyanyi; dan ia di luar pintu. ia pernah ingin sekali bertemu yesus, tapi ayahnya bilang yesus itu anak jadah. ia tak pernah tahu apakah ia pernah sungguh-sungguh mencintai ayahnya. barangkali malam ini yesus mencariku, pikirnya. tapi ia belum pernah berjanji kepada siapa pun untuk menemui atau ditemui; ia benci kepada setiap kepercayaan yang dipermainkan. ia berjalan sendiri di antara orang ramai. seperti didengarnya seorang anak berdoa; ia tak pernah diajar berdoa. ia pun suatu saat ingin meloloskan dirinya ke dalam doa, tapi tak pernah mengetahui awal dan akhir sebuah doa; ia tak pernah tahu kenapa barangkali seluruh hidupku adalah sebuah doa yang panjang. katanya sendiri; ia merasa seperti tenteram dengan jawabannya sendiri ia adalah doa yang panjang. pagi tadi ia bertemu seseorang, ia sudah lupa namanya, lupa wajahnya berdoa sambil berjalan… ia ingin berdoa malam ini, tapi tak bisa mengakhiri, tak bisa menemukan kata penghabisan. Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 6 ia selalu merasa sakit dan malu setiap kali berpikir tentang dosa; ia selalu akan pingsan kalau berpikir tentang mati dan hidup abadi. barangkali tuhan seperti kepala sekolah, pikirnya ketika dulu ia masih di sekolah rendah. barangkali tuhan akan mengeluarkan dan menghukum murid yang nakal, membiarkannya bergelandangan dimakan iblis. barangkali tuhan sedang mengawasi aku dengan curiga, pikirnya malam ini, mengawasi seorang yang selalu gagal berdoa. apakah ia juga pernah berdosa, tanyanya ketika berpapasan dengan seorang perempuan. perempuan itu setangkai bunga; apakah ia juga pernah bertemu yesus, atau barangkali pernah juga dikeluarkan dari sekolahnya dulu. selamat malam, langit, apa kabar selama ini? barangkali bintang-bintang masih berkedip buatku, pikirnya… ia pernah membenci langit dahulu, ketika musim kapal terbang seperti burung menukik dan kemudian ledakan-ledakan saat itu pulalah terdengar olehnya ibunya berdoa dan terbawa pula namanya sendiri kadang ia ingin ke langit, kadang ia ingin mengembara saja ke tanah-tanah yang jauh; pada suatu saat yang dingin ia ingin lekas kawin, membangun tempat tinggal. ia pernah merasa seperti si pandir menghadapi angka-angka…ia pun tak berani memandang dirinya sendiri ketika pada akhirnya tak ditemukannya kuncinya. pada suatu saat seorang gadis adalah bunga, tetapi di lain saat menjelma sejumlah angka yang sulit. ah, ia tak berani berkhayal tentang biara. ia tkut membayangkan dirinya sendiri, ia pun ingin lolos dari lampu-lampu dan suara-suara malam hari, dan melepaskan genggamannya dari kenyataan; tetapi disaksikannya berjuta orang sedang berdoa, para pengungsi yang bergerak ke kerajaan tuhan, orang-orang sakit, orang-orang penjara, dan barisan panjang orang gila. ia terkejut dan berhenti, lonceng kota berguncang seperti sedia kala rekaman senandung duka nestapa. seorang perempuan tertawa ngeri di depannya, menawarkan sesuatu. ia menolaknya. ia tak tahu kenapa mesti menolaknya. barangkali karena wajah perempuan itu mengingatkannya kepada sebuah selokan, penuh dengan cacing; Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 7 barangkali karena mulut perempuan itu menyerupai penyakit lepra; barangkali karena matanya seperti gula-gula yang dikerumuni beratus semut. dan ia telah menolaknya, ia bersyukur untuk itu. kepada siapa gerangan tuhan berpihak, gerutunya. ia menyaksikan orang-orang berjalan, seperti dirinya, sendiri atau membawa perempuan, atau bergerombol, wajah-wajah yang belum ia kenal dan sudah ia kenal, wajah-wajah yang ia lupakan dan ia ingat sepanjang zaman, wajah-wajah yang ia cinta dan ia kutuk. semua sama saja. barangkali mereka mengangguk padaku, pikirnya; barangkali mereka melambaikan tangan padaku setelah lama berpisah atau setelah terlampau sering bertemu. ia berjalan ke barat. selamat malam. ia mengangguk, entah kepada siapa; barangkali kepada dirinya sendiri. barangkali hidup adalah doa yang panjang, dan sunyi adalah minuman keras. ia merasa tuhan sedang memandangnya dengan curiga; ia pun bergegas. barangkali hidup adalah doa yang…. barangkali sunyi adalah…. barangkali tuhan sedang menyaksikannya berjalan ke barat 1964 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 8 TENTANG SEORANG PENJAGA KUBUR YANG MATI bumi tak pernah membeda-bedakan, seperti ibu yang baik. diterimanya kembali anak-anaknya yang terkucil dan membusuk, seperti halnya bangkai binatang, pada suatu hari seorang raja, atau jenderal, atau pedagang, atau klerek – sama saja. dan kalau hari ini si penjaga kubur, tak ada bedanya. ia seorang tua yang rajin membersihkan rumputan, menyapu nisan, mengumpulkan bangkai bunga dan daunan; dan bumi pun akan menerimanya seperti ia telah menerima seorang laknat, atau pendeta, atau seorang yang acuh-tak-acuh kepada bumi, dirinya. toh akhirnya semua membusuk dan lenyap, yang mati tanpa gendering, si penjaga kubur ini, pernah berpikir apakah balasan bagi jasaku kepada bumi yang telah kupelihara dengan baik; barangkali sebuah sorga atau am punan bagi dusta-dusta masa mudanya. tapi sorga belum pernah terkubur dalam tanah. dan bumi tak pernah membeda-bedakan, tak pernah mencinta atau membenci; bumi adalah pelukan yang dingin, tak pernah menolak atau menanti, tak akan pernah membuat janji dengan langit. lelaki tua yang rajin itu mati hari ini; sayang bahwa ia tak bisa menjaga kuburnya sendiri. 1964 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 9 SAAT SEBELUM BERANGKAT mengapa kita masih juga bercakap hari hampir gelap menyekap beribu kata diantara karangan bunga di ruang semakin maya, dunia purnama sampai tak ada yang sempat bertanya mengapa musim tiba-tiba reda kita di mana. waktu seorang bertahan di sini di luar para pengiring jenazah menanti 1967 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 10 BERJALAN DI BELAKANG JENAZAH berjalan di belakang jenazah angina pun reda jam mengerdip tak terduga betapa lekas siang menepi, melapangkan jalan dunia di samping pohon demi pohon menundukkan kepala di atas matahari kita, matahari itu juga jam mengambang di antaranya tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya 1967 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 11 SEHABIS MENGANTAR JENAZAH masih adakah yang akan kautanyakan tentang hal itu? hujan pun sudah selesai sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakap di bawah bunga-bunga menua, matahari yang senja pulanglah dengan paying di tangan, tertutup anak-anak kembali bermain di jalanan basah seperti dalam mimpi kuda-kuda meringkik di bukit-bukit jauh barangkali kita tak perlu tua dalam tanda Tanya masih adakah? alangkah angkuhnya langit alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita seluruhnya, seluruhnya kecuali kenangan pada sebuah gua yang menjadi sepi tiba-tiba 1967 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 12 LANSKAP sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tua waktu hari hampir lengkap, menunggu senja putih, kita pun putih memandangnya setia sampai habis semua senja 1967 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 13 HUJAN TURUN SEPANJANG JALAN hujan turun sepanjang jalan hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan kembali bernama sunyi kita pandang pohon-pohon di luar basah kembali tak ada yang menolaknya. kita pun mengerti, tiba-tiba atas pesan yang rahasia tatkala angina basah tak ada bermuat debu tatkala tak ada yang merasa diburu-buru 1967 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 14 KITA SAKSIKAN kita saksikan burung-burung lintas di udara kita saksikan awan-awan kecil di langit utara waktu cuaca pun senyap seketika sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya di antara hari buruk dan dunia maya kita pun kembali mengenalnya kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia 1967 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 15 DALAM SAKIT waktu lonceng berbunyi percakapan merendah, kita kembali menanti-nanti kau berbisik siapa lagi akan tiba siapa lagi menjemputmu berangkat berduka di ruangan ini kita gaib dalam gema. di luar malam hari mengendap, kekal dalam rahasia kita pun setia memulai percakapan kembali seakan abadi, menanti-nanti lonceng berbunyi 1967 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 16 SONET HEI! JANGAN KAUPATAHKAN Hei! Jangan kaupatahkan kuntum bunga itu ia sedang mengembang; bergoyang-goyang dahan-dahannya yang tua yang telah mengenal baik, kau tahu, segala perubahan cuaca. Bayangkan akar-akar yang sabar menyusup dan menjalar hujan pun turun setiap bumi hampir hangus terbakar dan mekarlah bunga itu perlahan-lahan dengan gaib, dari rahim Alam. Jangan; saksikan saja dengan teliti bagaimana matahari memulasnya warna-warni, sambil diam-diam membunuhnya dengan hati-hati sekali dalam Kasih-sayang, dalam rindu-dendam Alam; lihat ia pun terkulai perlahan-lahan dengan indah sekali, tanpa satu keluhan 1967 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 17 ZIARAH Kita berjingkat lewat jalan kecil ini dengan kaki telanjang; kita berziarah ke kubur orang-orang yang telah melahirkan kita. Jangan sampai terjaga mereka! Kita tak membawa apa-apa. Kita tak membawa kemenyan atau pun bunga kecuali seberkas rencana-rencan kecil yang senantiasa tertunda-tunda untuk kita sombongkan kepada mereka. Apakah akan kita jumpai wajah-wajah bengis, atau tulang belulang, atau sisa-sisa jasad mereka di sana? Tidak, mereka hanya kenangan. hanya batang-batang cemara yang menusuk langit yang akar-akarnya pada bumi keras. Sebenarnya kita belum pernah mengenal mereka; ibu-bapak kita yang mendongeng tentang tokoh-tokoh itu, nenek moyang kita itu, tanpa menyebut-nyebut nama. Mereka hanyalah mimpi-mimpi kita, kenangan yang membuat kita merasa pernah ada. Kita berziarah; berjingkatlah sesampai di ujung jalan kecil ini sebuah lapangan terbuka batang-batang cemara angin. Tak ada bau kemenyan tak ada bunga-bunga; mereka telah tidur sejak abad pertama, semenjak Hari Pertama itu. Tak ada tulang-belulang tak ada sisa-sisa jasad mereka. Ibu-bapa kita sungguh bijaksana, terjebak kita dalam dongengan nina-bobok. Di tangan kita berkas-berkas rencana, di atas kepala sang Surya. 1967 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 18 DALAM DOA I kupandang ke sana Isyarat-isyarat dalam cahaya kupandang semesta ketika Engkau seketika memijar dalam Kata terbantun menjelma gema. Malam sibuk di luar suara kemudian daun bertahan pada tangkainya ketika hujan tiba. Kudengar bumi sedia kala tiada apa pun diantara Kita dingin semakin membara sewaktu berembus angina 1968 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 19 DALAM DOA II saat tiada pun tiada aku berjalan tiada – gerakan, serasa isyarat Kita pun bertemu sepasang Tiada tersuling tiadagerakan, serasa nikmat Sepi meninggi 1968 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 20 DALAM DOA III jejak-jejak Bunga selalu; betapa tergoda kita untuk berburu, terjun di antara raung warna sebelum musim menanggalkan daun-daun akan tersesat di mana kita terbujuk jejak-jejak Bunga nantinya atau terjebak juga baying-bayang Cahaya dalam nafsu kita yang risau 1967 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 21 KETIKA JARI-JARI BUNGA TERBUKA ketika jari-jari bunga terbuka mendadak terasa betapa sengit cinta Kita cahaya bagai kabut, kabut cahaya; di langit. menyisih awan hari ini di bumi meriap sepi yang purba; ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata, suatu pagi dis ayap kupu-kupu, di sayap warna swara burung di ranting-ranting cuaca, bulu-bulu cahaya betapa parah cinta Kita mabuk berjalan, diantara jerit bunga-bunga rekah 1968 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 22 SAJAK PERKAWINAN cahaya yang ini, Siapakah? kelopak-kelopak malam berguguran kaki langit yang kabur dalam kamar, dalam Persetubuhan butir demi butir Kau dan aku, aku dan serbuk malam tergelincir menyatu Perkawinan tak di mana pun, tak kapan pun kelopak demi kelopak terbuka malam pun sempurna 1968 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 23 GERIMIS KECIL DI JALAN JAKARTA, MALANG seperti engkau berbicara di ujung jalan waktu dingin, sepi gerimis tiba-tiba seperti engkau memanggil-manggil di kelokan itu untuk kembali berduka untuk kembali kepada rindu panjang dan cemas seperti engkau yang memberi tanda tanpa lampu-lampu supaya menyahutmu, Mu 1968 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 24 KUPANDANG KELAM YANG MERAPAT KE SISI KITA kupandang kelam yang merapat ke sisi kita; siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba malam berkabut seketika; barangkali menjemputku barangkali berkabar penghujan itu kita terdiam saja di pintu; menunggu atau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu; kenalkah ia padamu, desakmu kemudian sepi terbata-bata menghardik berulang kali baying-bayangnya pun hampir sampai di sini; jangan ucapkan selamat malam; undurlah pelahan pastilah sudah gugur hujan di hulu sungai itu; itulah Saat itu, bisikku kukecup ujung jarimu; kau pun menatapku bunuhlah ia, suamiku kutatap kelam itu baying-bayang yang hampir lengkap mencapaiku lalu kukatakan mengapa Kau tegak di situ 1968 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 25 BUNGA-BUNGA DI HALAMAN mawar dan bunga rumput di halaman; gadis yang kecil dunia kecil, jari begitu kecil menudingnya mengapakah perempuan suka menangis bagai kelopak mawar, sedang rumput liar semakin hijau swaranya di bawah sepatu-sepatu mengapakah pelupuk mawar selalu berkaca-kaca; sementara tangan-tangan lembut hampir mencapainya wahai, meriap rumput di tubuh kita 1968 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 26 PERTEMUAN perempuan mengirim air matanya ke tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulan ke landasan cakrawala; kepalanya di atas bantal lembut bagai bianglala lelaki tak pernah menoleh dan di setiap jejaknya melebat hutan-hutan, hibuk pelabuhan-pelabuhan; di pelupuknya sepasang matahari keras dan fana dan serbuk-serbuk hujan tiba dari arah mana saja cadar bagi rahim yang terbuka, udara yang jenuh ketika mereka berjumpa. Di ranjang ini 1968 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 27 SONET X siapa menggores di langit biru siapa meretas di awan lalu siapa mengkristal di kabut itu siapa mengertap di bunga layu siapa cerna di warna ungu siapa bernafas di detak waktu siapa berkelebat setiap kubuka pintu siapa terucap di celah kata-kataku siapa mengaduh di baying-bayang sepiku siapa tiba menjemputku berburu siapa tiba-tiba menyibak cadarku siapa meledak dalam diriku siapa Aku 1968 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 28 SONET Y walau kita sering bertemu di antara orang-orang melawat ke kubur itu di sela-sela suara biru bencah-bencah kelabu dan ungu walau kau sering kukenang di antara kata-kata yang lama tlah hilang terkunci dalam baying-bayang dendam remang walau aku sering kau sapa di setiap simpang cuaca hijau menjelma merah menyala di pusing jantra ku tak tahu kenapa merindu tergagap gugup di ruang tunggu 1968 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 29 JARAK dan Adam turun di hutan-hutan mengabur dalam dongengan dan kita tiba-tiba di sini tengadah ke langit; kosong sepi 1968 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 30 HUJAN DALAM KOMPOSISI, 1 Apakah yang kau tangkap dari swara hujan, dan daun-daun bougencil basah yang teratur mengetuk jendela? Apakah yang kau tangkap dari bau tanah, dari ricik air yang turun di selokan? Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan, emmbayangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang. “Tak ada. Kecuali baying-bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit dari titik air menggelincir dari daun dekat jendela itu. Atau memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu tidur.” Barangkali sudah terlalu sering ia mendengarnya, dan tak lagi mengenalnya. 1969 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 31 HUJAN DALAM KOMPOSISI, 2 Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah, dan kembali ke bumi. Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di jalan yang panjang, menyusurnya, dan tergelincir masuk selokan kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini. bercakap tentang lautan. Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di lautan. Selamat tidur. 1969 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 32 HUJAN DALAM KOMPOSISI, 3 dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya terpisah dari hujan 1969 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 33 VARIASI PADA SUATU PAGI i sebermula adalah kabut; dan dalam kabut senandung lonceng, ketika selembar dauh luruh, setengah bermimpi, menepi ke bumi, luput kaudengarkah juga seperti Suara mengaduh? ii dan cahaya yang membasuhmu pertama-tama bernyanyi bagi ca pung, kupu-kupu, dan bunga; Cahaya yang menawarkan kicau burung susut tiba-tiba pada selembar daun tua, pelan terbakar, tanpa sisa iii menjelma baying-bayang. Bayang-bayang yang tiba-tiba tersentak ketika seekor burung, menyambar ca pung Selamat pagi pertama bagi matahari, risau bergerak-gerak ketika sepasang kupu-kupu merendah ke bumi basah, bertarung 1970 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 34 MALAM ITU KAMI DI SANA “Kenapa kaubawa aku ke mari, Saudara?” sebuah stasiun di dasar malam. Bayang-bayang putih di sudut peron menyusur bangku-bangku panjang; jarum-jarum jam tak letihnya meloncat, merapat ke Sepi. Barangkali saja kami sedang menanti kereta yang bisaa tiba setiap kali tiada seorang pun siap memberi tanda-tanda; barangkali saja kami sekedar ingin berada di sini ketika tak ada yang bergegas, yang cemas, yang menanti-nanti; hanya nafas kami, menyusur batang-batang rel, mengeras tiba-tiba; sinyal-sinyal kejang, lampu-lampu kuning yang menyusut di udara sementara baying-bayang putih di seluruh ruangan, “Tetapi katakana dahulu, Saudara, kenapa kaubawa aku ke mari?” 1970 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 35 DI BERANDA WAKTU HUJAN Kau sebut kenanganmu nyanyian dan bukan matahari yang menerbitkan debu jalanan, yang menajamkan warna-warni bunga yang dirangkaikan yang menghapus jejak-jejak kaki, yang senantiasa berulang dalam hujan. Kau di beranda. sendiri, “Ke mana pula burung-burung itu yang bahkan tak pernah kau lihat, yang menjelma semacam nyanyian, semacam keheningan terbang; kemana pula suit daun yang berayun jatuh dalam setiap impian?” Dan bukan kemarau yang membersihkan langit, yang perlahan mengendap di udara kau sebut cintamu penghujan panjang, yang tak habis-habisnya membersihkan debu, yang bernyanyi di halaman. Di beranda kau duduk sendiri, “Di mana pula sekawanan kupu-kupu itu, menghindar dari pandangku; di mana pula ah, tidak!rinduku yang dahulu?” Kau pun di beranda, mendengar dan tak mendengar kepada hujan, sendiri, “Di manakah sorgaku itu nyanyian yang pernah mereka ajarkan padaku dahulu, kata demi kata yang pernah kau hapal bahkan dalam igauanku?” Dan kausebut hidupmu sore hari dan bukan siang yang bernafas dengan sengit yang tiba-tiba mengeras di bawah matahari yang basah, yang meleleh dalam senandung hujan, yang larut. Amin. 1970 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 36 KARTU POS BERGAMBAR TAMAN UMUM, NEW YORK Di sebuah taman kausapa New York yang memutih rambutnya duduk di bangku panjang, berkisah dengan beberapa ekor merpati. Tapi tak disahutnya anggukmu; tak dikenalnya sopan-santun itu. New York yang senjakala, yang Hitam panggilannya, membayangkan diriny turun dari kereta dari Selatan nun jauh. Beberapa bunga ceri jatuh di atas koran hari ini. Lonceng menggoreskan akhir musim semi. 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 37 NEW YORK, 1971 Hafalkan namamu baik-baik di sini. Setelah baja dan semen yang mengatur langkah kita, lampu-lampu dan kaca. Langit hanya dalam batin kita, tersimpan setia dari lembah-lembah di mana kau dan aku lahir, semakin biru dalam dahaga. Hafalkan namamu. Tikungan demi tikungan warna demi warna tanda-tanda jalanan yang menunjuk kea rah kita, yang kemudian menjanjikan arah yang kabur ke tempat-tempat yang dulu pernah ada dalam mimpi kanak-kanak kita. Berjalanlah merapat tembok sambil mengulang-ulang menyebut nama tempat dan tanggal lahirmu sendiri, sampai di persimpangan ujung jalan itu, yang menjurus ke segala arah sambil menolak arah, ketika semakin banyak juga orang-orang di sekitar kita, dan terasa bahwa sepenuhnya sendiri. Kemudian bersiaplah dengan jawaban-jawaban itu. Tetapi kaudengarkah swara-swara itu? 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 38 DALAM KERETA BAWAH TANAH, CHICAGO “Siapakah namamu?” Barangkali aku setengah tertidur waktu kau tanyakan itu lagi. Bangku-bangku yang separo kosong, beberapa wajah yang seperti mata tombak, dan dari jendela siluet di atas dasar hitam. Aku pun tak pernah menjawabmu, bahkan ketika kautanyakan jam berapa saat kematianku, sebab kau toh tak pernah ada tatkala aku sepenuhnya terjaga Baiklah, hari ini kita namakan saja ia ketakutan, atau apa sajalah. Di saat lain barangkali ia menjadi milik seorang pahlawan, atau seorang budak, atau Pak Guru yang mengajar anak-anak bernyanyi – tetapi manakah yang lebih deras denyutnya, jantung manusia atau arloji? yang bisaa menghitung nafas kita, ketika seorang membayangkan sepucuk pestol teracu ke arahnya? Atau tak usah saja kita namakan apa-apa; kau pun sibuk mengulang-ulang pertanyaan yang itu-itu juga, sementara aku hanya separo terjaga Seandainya 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 39 KARTU POS BERGAMBAR JEMBATAN “GOLDEN GATE”, SAN FRANSISCO kabut yang likat dan kabut yang pupur lekat dan grimis pada tiang-tiang jembatan matahari menggeliat dan kembali gugur tak lagi di langit! berpusing di pedih lautan 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 40 JANGAN CERITAKAN bibir-bibir bunga yang pecah-pecah mengunyah matahari, jangan ceritakan padaku tentang dingin yang melengking malam-malam – lalu mengembun 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 41 TULISAN DI BATU NISAN tolong tebarkan atasku baying-bayang hidup yang lindap kalau kau berziarah ke mari tak tahan rasanya terkubur, megap di bawah terik si matahari 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 42 MATA PISAU mata pisau itu tak berkejap menatapmu; kau yang baru saja mengasahnya berpikir; ia tajam untuk mengiris apel yang tersedia di atas meja sehabis makan malam; ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu. 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 43 TENTANG MATAHARI Matahari yang di atas kepalamu itu adalah balon gas yang terlepas dari tanganmu waktu kau kecil, adalah bola lampu yang ada di atas meja ketika kau menjawab surat-surat yang teratur kau terima dari sebuah Alamat, adalah jam weker yang berdering saat kau bersetubuh, adalah gambar bulan yang dituding anak kecil itu sambil berkata “Ini matahari! Ini matahari!” – Matahari itu? Ia memang di atas sana supaya selamanaya kau menghela baying-bayangmu itu. 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 44 BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang aku berjalan mengikuti baying-bayangku sendiri yang memanjang di depan aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan baying-bayang aku dan baying-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 45 CAHAYA BULAN TENGAH MALAM aku terjaga di kursi ketika cahaya bulan jatuh di wajahku dari genting kaca adakah hujan sudah reda sejak lama? masih terbuka koran yang tadi belum selesai kubaca terjatuh di lantai; di tengah malam itu ia nampak begitu dingin dan fana 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 46 NARCISSUS seperti juga aku namamu siapa, bukan? pandangmu hening di permukaan telaga dan rindumu dalam tetapi jangan saja kita bercinta jangan saja aku mencapaimu dan kau padaku menjelma atau tunggu sampai angina melepaskan selembar daun dan jatuh di telaga pandangmu berpendar, bukan? cemaskah aku kalau nanti air bening kembali? cemaskah aku kalau gugur daun demi daun lagi? 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 47 CATATAN MASA KECIL, 1 Ia menjenguk ke dalam sumur mati itu dan tampak garis-garis patah dan berkas-berkas warna perak dan kristal-kristal hitam yang pernah disaksikannya ketika ia sakit dan mengigau dan memanggil-manggil ibunya. Mereka bilang ada ular menjaga di dasarnya. Ia melemparkan batu ke dalam sumur mati itu dan mendengar suara yang pernah dikenalnya lama sebelum ia mendengar tangisnya sendiri yang pertama kali. mereka bilang sumur mati itu tak pernah keluar airnya. Ia mencoba menerka kenapa ibunya tidak pernah mempercayai mereka. 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 48 CATATAN MASA KECIL, 2 Ia mengambil jalan pintas dan jarum-jarum rumput berguguran oleh langkahlangkahnya. Langit belum berubah juga. Ia membayangkan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga lalu berpikir apakah burung yang tersentak dari ranting lamtara itu pernah menyaksikan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga terkam menerkam. Langit belum berubah juga. Angin begitu ringan dan bisa meluncur ke mana pun dan bisa menggoda laut sehabis menggoda bunga tetapi ia bukan angina dan ia kesal lalu menyepak sebutir kerikil. Ada yang terpekik di balik semak. Ia tak mendengarnya. Ada yang terpekik di balik semak dan gemanya menyentuh sekuntum bunga lalu tersangkut pada angina dan terbawa sampai ke laut tetapi ia tak mendengarnya dan ia membayangkan rahang-rahang langit kalau hari hampir hujan. Ia sampai di tanggul sungai tetapi mereka yang berjanji menemuinya ternyata tak ada. Langit sudah berubah. Ia memperhatikan ekor srigunting yang senantiasa bergerak dan mereka yang berjanji mengajaknya ke seberang sungai belum juga tiba lalu menyaksikan butir-butir hujan mulai jatuh ke air dan ia memperhatikan lingkaranlingkaran itu melebar dan ia membayangkan mereka tiba-tiba menge pungnya dan melemparkannya ke air. Ada yang memperhatikannya dari seberang sungai tetapi ia tak melihatnya. Ada. 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 49 CATATAN MASA KECIL, 3 Ia turun dari ranjang lalu bersijingkat dan membuka jendela lalu menatap bintang-bintang seraya bertanya-tanya apa gerangan yang di luar semesta dan apa gerangan yang di-luar semesta dan terus saja menunggu sebab serasa ada yang akan lewat memberitahukan hal itu padanya dan ia terus bertanya-tanya sampai akhirnya terdengar ayam jantan berkokok tiga kali dan ketika ia menoleh nampak ibunya sudah berdiri di belakangnya berkata “biar kututup jendela ini kau tidurlah saja setelah semalam suntuk terjaga sedang udara malam jahat sekali perangainya? 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 50 AKUARIUM kau yang mengatakan matanya ikan! kau yang mengatakan matanya dan rambutnya dan pundaknya ikan! kau yang mengatakan matanya dan rambutnya dan pundaknya dan lengannya dan dadanya dan pinggulnya dan pahanya ikan! “Aku adalah air”, teriakmu “adalah ganggang adalah lumut adalah gelembung udara adalah kaca adalah…” 1972 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 51 SAJAK, 1 Begitulah, kami bercakap sepanjang malam berdiang pada suku kata yang gosok menggosok dan membara. “Jangan diam, nanti hujan yang menge pung kita akan menidurkan kita dan menyelimuti kita dengan kain putih panjang lalu mengunci pintu kamar ini!” Baiklah, kami pun bercakap sepanjang malam “Tetapi begitu cepat kata demi kata menjadi abu dan mulai beterbangan dan menyesakkan udara dan…” 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 52 SAJAK, 2 Telaga dan sungai itu kulipat dan kusimpan kembali dalam urat nadiku. Hutan pun gundul. Demikianlah maka kawanan kijang itu tak mau lagi tinggal dalam sajaksajakku sebab kata-kata di dalamnya berujud anak panaj yang dilepas oleh Rama. Demikianlah maka burung-burung tak betah lagi tinggal dalam sarang di selasela kalimat-kalimatku sebab sudah begitu rapat sehingga tak ada lagi tersisa ruang. Tinggal beberapa orang pemburu yang terpisah dari anjing mereka menyusur jejak darah, membalikkan dan menggeser setiap huruf kata-kataku, mencari binatang korban yang terluka pembuluh darahnya itu. 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 53 DI KEBUN BINATANG Seorang wanita muda berdiri terpikat memandang ular yang melilit sebatang pohon sambil menjulur-julurkan lidahnya katanya kepada suaminya. “Alangkah indahnya kulit ular itu untuk tas dan sepatu!” Lelaki muda itu seperti teringat sesuatu, cempat-cepat menarik lengan istrinya meninggalkan tempat terkutuk itu. 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 54 PERCAKAPAN MALAM HUJAN Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung, berdiri di samping tiang listrik. Katanya kepada lampu jalan, “Tutup matamu dan tidurlah. Biar kujaga malam.” “Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah, jangan menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia suka terang.” 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 55 TELUR, 1 Ada sebutir telur tepat di tengah tempat tidurmu yang putih rapih. Kau tentu saja, terkejut ketika pulang malam-malam dan melihatnya di situ. Barangkali itulah telur yang kadang hilang kadang nampak di tangan tukang sulap yang kau tonton sore tadi. Barangkali telur itu sengaja ditaruh di situ oleh anak gadismu atau istrimu atau ibumu agar bisa tenteram tidurmu di dalamnya. 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 56 TELUR, 2 dalam setiap telur semoga ada burung dalams etiap burung semoga ada engkau dalam setiap engkau semoga ada yang senantiasa terbang menembus silau matahari memecah udara dingin memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai merindukan telur 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 57 SEHABIS SUARA GEMURUH sehabis suara gemuruh itu yang tampak olehku hanyalah tubuhmu telanjang dengan rambut terurai menga pung dipermukaan air bening yang mengalir tenang – tak kausahut panggilanku 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 58 MUARA Muara yang tak pernah pasti sifatnya selalu mengajak laut bercakap. Kalau kebetulan dibawanya air dari gunug, katanya, “Inilah lambang cinta sejati, sumber denyut kehidupan” Kalau hanya sampah dan kotoran yang dimuntahkan ia berkata, “Tentu saja bukan maksudku mengotori hubungan kita yang suci, tentu saja aku tidak menghendaki sisa-sisa ini untukmu” Dan ketika pada suatu hari ada bangkai manusia tera pung di muara itu, di sana-sini timbul pusaran air, dan tepi-tepi muara itu tiba-tiba bersuara rebut, “Tidak! Bukan aku yang memberinya isyarat ketika ia tiba-tiba berhenti di jembatan itu dan, tanpa memejamkan mata, membiarkan dirinya terlempar ke bawah dan, sungguh, aku tak berhak mengusutnya sebab bahkan lubuk-lubukku, dan juga lubuk-lubukumu, tidaklah sedalam…” 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 59 SEPASANG SEPATU TUA sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang berdebu, yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisa sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 60 DI BANJAR TUNJUK, TABANAN pemukul gendang itu membayangkan dirinya Rama yang mengiringkan Sita memasuki hutan penukul gendang itu membayangkan dirinya Garuda yang mencengkram Sita diantara kuku-kukunya pemukul gendang itu membayangkan dirinya Rawana yang memperkosa Sita di Taman Raja ketika gong dipukul keras di tengah cerita ia tiba-tiba merasa beratus-ratus kera berloncatan menge pungnya dan merobek-robek tubuhnya dan menguburkannya di bawah tumpukan batu di dasar laut 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 61 SUNGAI, TABANAN kami berhenti dan memandang kea rah sungai para perempuan sedang menebarkan bibit-bibit kabut di arus yang riciknya terdengar dari kejauhan kami berteriak, “apa nama sungai itu?”, tetapi hanya tawa mereka menyahut, berderai dan ketika kami mencapai tepi sungai, para perempuan itu ternyata tak ada – dan kabut menutupi arus sungai sehingga kami tak tahu ia mengalir ke selatan atau utara 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 62 KEPADA I GUSTI NGURAH BAGUS dewa telah menciptakan butir-butir padi dewa telah menciptakan bunga dewa telah menciptakan gadis yang menunjang untaian padi di kepala dan menyematkan bunga di telinga dewa akan berdiri di gerbang pura pada suatu hari nanti dan menegur perempuan yang berjalan lewat itu katanya “perempuan tua, tumpuklah padimu di lumbung dan hanyutkan bunga itu di sungai; biar kuperintahkan orang-orang itu membuat api di tanah lapang agar terbakar sempurna jasadmu mengabu” 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 63 BOLA LAMPU Sebuah bola lampu menyala tergantung dalam kamar. Lelaki itu menyusun jari-jarinya dan baying-bayangnya tampak bergerak di dinding “Itu kijang!”, katanya. “Hore!” teriak anak-anakknya, “sekarang harimau!” “Itu harimau.” Hore! “Itu gajah, itu babi hutan, itu kera…” Sebuah bola lampu ingin memejamkan dirinya. Ia merasa berada di tengah hutan. Ia bising mendengar hangar binger kawanan binatang buas itu. Ia tiba-tiba merasa asing dan tak diperhatikan. 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 64 PADA SUATU PAGI HARI Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa. ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.\ 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 65 BUNGA, 1 i Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia rekah di tepi padang waktu hening pagi terbit; siangnya cuaca berdenyut ketika nampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu; malam hari. ia mendengar seru serigala. Tapi katanya, “Takut?” Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!” ii Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia kembang di sela-sela geraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangkai dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api…. Teriaknya, “Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput pilihan dewata!” 1975 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 66 BUNGA, 2 mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika pemilik taman memetiknya hari ini; tak ada alas an kenapa ia ingin berkata jangan sebab toh wanita wanita itu tak mengenal isyaratnya – tak ada alas an untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu kini wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya selembar demi selembar dan membiarkan berjatuhan menjelma pendar-pendar di permukaan kolam 1975 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 67 BUNGA, 3 seuntai kuntum melati yang di ranjang itu sudah berwarna coklat ketika tercium udara subuh dan terdengar ketukan di pintu tak ada sahutan seuntai kuntum melati itu sudah kering wanginya mengeras di empat penjuru dan menjelma kristal-kristal di udara ketika terdengar ada yang memaksa membuka pintu lalu terdengar seperti gema “hai siapa gerangan yang membawa pergi jasadku?” 1975 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 68 PUISI CAT AIR UNTUK RIZKI angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon itu, “aku rindu, aku ingin mempermainkanmu!” kabel telpon memperingatkan angina yang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas, “jangan brisik, menggangu hujan!” hujan meludah di ujung gang lalu menatap angina dengan tajam, hardiknya, “lepaskan daun itu!” 1975 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 69 LIRIK UNTUK LAGU POP jangan pejamkan matamu, aku ingin tinggal di hutan yang gerimis – pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri mawar begitu nyaring!; swaramu adalah kertap bulu burung yang gugur begitu hening! aku pun akan memecah pelahan dan bertebaran dalam hutan; berkilauan serbuk dalam kabut – nafasmu adalah goyang anggrek hutan yang menggelepak begitu tajam! aku akan berhamburan dalam grimis dalam seru butir air dalam kertap bulu burung dalam goyang anggrek – ketika hutan mendadak gaib jangan pejamkan matamu; 1975 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 70 SANDIWARA, 2 untuk Putu Wijaya Mula-mula adalah seorang lelaki tua di panggung, di atas kursi goyang. Meja, kursi, kopi yang sudah dingin, lampu gantung, dan surat-surat bertebaran di lantai bergoyang-goyang. Ia bergoyang sambil mengutuk beberapa nama yang tak kita kenal, mengejek kursi dan surat-surat itu – dan kita ketawa. Mendadak ia berdiri dan masuk – dari dalam ia memanggil-manggil nama, tanpa sahutan. Kursi masih bergoyang-goyang. Tapi kenapa kita tertawa? Bahkan ketika suaranya terdengar semakin serak dan lampu semakin redup – kursi itu tetap bergoyang. Kita penonton, harus pulang sebelum sempat lagi ketawa. 1976 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 71 LIRIK UNTUK IMPROVISASI JAZZ “Sayangku yang jauh, entah berapa kali telah kukelilingi taman kota ini; telah tergolek di atas rumput, sobekan – sobekan kertas, embun, pecahan botol; telah bermantel sinar bintang-bintang dan angina yang panjang nafasnya; aku tak pernah tidur, menunggumu. Si Tua, yang suka lewat sambil meludah dan menanyakan waktu itu, selalu mengatakan kau tak pernah mengingkari janjimu, tapi anjing kampong yang matanya selalu mengantuk itu tak pernah menyahut siulanku!” Ia merasa seperti menyusuri lingkaran tak menemukan bangku panjang. 1978 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 72 YANG FANA ADALAH WAKTU Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. “Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu. Kita abadi. 1978 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 73 TUAN Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, saya sedang keluar. 1980 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 74 CERMIN, 1 cermin tak pernah berteriak; ia pun tak pernah meraung, tersedan, atau terisak, meski apa pun jadi terbalik di dalamnya; barangkali ia hanya bisa bertanya mengapa kau seperti kehabisan suara? 1980 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 75 CERMIN, 2 mendadak kau mengabut dalam kamar, mencari-cari dalam cermin; tapi cermin buram kalau kau entah di mana, kalau kau mengembun dan menempel di kaca, kalau kau mendadak menetes dan tepercik ke mana-mana, dan cermin menangkapmu sia-sia 1980 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 76 DALAM DIRIKU Because the sky is blue It makes me cry The Beatles dalam diriku mengalir sungai panjang, darah namanya; dalam diriku menggenang telaga darah; sukma namanya; dalam diriku meriak gelombang sukma, hidup namanya! dank arena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya 1980 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 77 KUHENTIKAN HUJAN kuhentikan hujan. Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi pelahan – ada yang berdenyut dalam diriku menembus tanah basah, dendam yang dihamilkan hujan dan cahaya matahari. Tak bisa kutolak matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga. 1980 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 78 BENIH “Cintaku padamu, Adinda,” kata Rama, “adalah laut yang pernah bertahun memisahkan kita, adalah langit yang senantiasa memayungi kita, adalah kawanan kera yang di gua Kiskenda. Tetapi….” Sita yang hamil itu tetap diam sejak semula, “kau telah tinggal dalam sangkar raja angkara itu bertahun-tahun lamanya, kau telah tidur di ranjangnya, kau bukan lagi rahasia baginya.” Sita yang hamil itu tetap diam; pesona. “Tetapi Raksasa itu ayahandamu sendiri, benih yang menjadikanmu, apakah ia juga yang membenihimu, apakah….”Sita yang hamil itu tetap diam, mencoba menafsirkan kehendak para dewa. 1981 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 79 DI TANGAN ANAK-ANAK Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad yang tak takluk kepada gelombang, menjelma burung yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan; di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci. “Tuan, jangan kau ganggu permainanku ini” 1981 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 80 DI ATAS BATU ia duduk di atas batu dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah kali ia gerak-gerakan kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana kemari ia pandang sekeliling matahari yang hilang-timbul di sela goyang daun-daunanan, jalan setapak yang mendaki tebing kali, beberapa ekor ca pung – ia ingin yakin bahwa ia benar-benar berada di sini 1981 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 81 ANGIN, 3 “Seandainya aku bukan….” Tapi kau angina! Tapi kau harus tak letih-letihnya beringsut dari sudut ke sudut kamar, menyusup di celah-celah jendela, berkelebat di pundak bukit itu. “Seandainya aku….” Tapi kau angin! Nafasmu tersengal setelah sia-sia menyampaikan padaku tentang perselisihan antara cahaya matahari dan warna-warna bunga “Seandainya…” Tapi kau angina! Jangan menjerit; semerbakmu memekakkanku. 1981 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 82 CARA MEMBUNUH BURUNG bagaimanakah cara membunuh burung yang suka berkukuk bersama teng-teng jam dinding yang tergantung sejak kita belum dilahirkan itu? soalnya ia bukan seperti burung-burung yang suka berkicau setiap pagi meloncat ke cahaya di sela-sela ranting pohon jambu ah dunia di antara bingkai jendela! soalnya ia suka mengusikku tengah malam, padahal aku sering ingin sendirian soalnya ia baka 1981 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 83 SIHIR HUJAN Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan – swaranya bisa dibeda-bedakan; kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu atau jendela. Meski pun sudah kaumatikan lampu. Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan – menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kau rahasiakan 1981 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 84 METAMORFOSIS ada yang sedang menanggalkan pakaianmu satu demi satu, mendudukanmu di depan cermin, dan membuatmu bertanya. “tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini?” ada yang sedang diam-diam menulis riwayat hidupmu, menimbang-nimbang hari lahirmu, mereka-reka sebab-sebab kematianmu – ada yang sedang diam-diam berubah menjadi dirimu 1981 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 85 TELINGA “Masuklah ke telingaku.” bujuknya. Gila ia digoda masuk ke telinganya sendiri agar bisa mendengar apa pun secara terperinci – setiap kata, setiap huruf. bahkan letupan dan desis yang menciptakan suara. “Masuklah.” bujuknya. Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaikbaiknya apa pun yang dibisikannya kepada diri sendiri 1982 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 86 AKU INGIN aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada 1989 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 87 SAJAK-SAJAK EMPAT SEUNTAI /1/ kukirim padamu beberapa patah kata yang sudah langka – jika suatu hari nanti mereka mencapaimu, rahasiakan, sia-sia aja memahamiku /2/ ruangan yang ada dalam sepatah kata ternyata mirip rumah kita ada gambar, bunyi, dan gerak-gerik di sana – hanya saja kita diharamkan menafsirkannya /3/ bagi yang masih eprcaya pada kata diam pusat gejolaknya, padam inti kobarnya – tapi kapan kita pernah memahami laut? memahami api yang tak hendak surut? /4/ apakah yang kita dapatkan di luar kata taman bunga? ruang angkasa? di taman, begitu banyak yang tak tersampaikan di angkasa, begitu hakiki makna kehampaan /5/ apalagi yang bisa ditahan? beberapa kata bersikeras menerobos batas kenyataan – setelah mencapai seberang, masihkah bermakna, bagimu, segala yang ingin kau sampaikan? /6/ dalam setiap kata yang kau baca selalu ada huruf yang hilang – kelak kau pasti akan kembali menemukannya di sela-sela kenangan penuh ilalang 1989 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 88 DI RESTORAN Kita berdua saja, duduk. Aku memesan ilalang panjang da bunga rumput – kau entah memesan apa. Aku memesan batu di tengah sungai terjal yang deras – kau entah memesan apa. Tapi kita berdua saja, duduk. Aku memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya, memesan rasa lapar yang asing itu. 1989 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 89 DALAM DOAKU dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang bersalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan menerima suara-suara ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara hijau senantiasa, yang tak henti-henti mengajukan pertanyaan muskil kepada angina yang mendesau entah dari mana dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ngibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di ranting dan mengugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu magrib ini dalam doaku kau menjelma angina yang turun sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat di jalan kecil itu, menyusup di celah-celah jendela dan pintu, dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu 1989 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 90 PADA SUATU HARI NANTI pada suatu hari nanti jasadku tak akan ada lagi tapi dalam bait-bait sajak ini kau takkan kurelakan sendiri pada suatu hari nanti suaraku tak terdengar lagi tapi di antara larik-larik sajak ini kau akan tetap kusiasati pada suatu hari nanti impianku pun tak dikenal lagi namun di sela-sela huruf sajak ini kau takkan letih-letihnya kucari 1991 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 91 SITA SIHIR Terbebas juga akhirnya aku – entah dari cakar Garuda atau lengan Dasamuka Sendiri, di menara tinggi, kusaksikan di atas langit yang tak luntur dingin-birunya dan di bawah api yang disulut Rama – berkobar bagai rindu abadi “Terjunlah, Sita,” bentak-Mu, “agar udara, air, api, dan tanah, kembali murni.” Tapi aku ingin juga terbebas dari sihir Rama. 1990 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 92 BATU /1/ Aku pun akhirnya berubah menjadi batu. Kau pahatkan, “Di sini istirah dengan tenteram sebongkah batu, yang pernah ebrlayar ke negerinegeri jauh, berlabuh di Bandar-bandar besar, dan dikenal di delapan penjuru angina, akhirnya ia pilih kutukan, ia pilih ketentraman itu. Di sini.” Tetapi kenapa kaupahat juga dan tidak kaubiarkan saja aku sendiri, sepenuhnya? /2/ Jangan kau dorong aku ke atas bukit itu kalau hanya untuk berguling kembali ke lembah ini. Aku tak mau terlibat dalam helaan nafas, keringat, harapan, dan sia-siamu. Jangan kau dorong aku ke bukit itu; aku tak tahan deigerakkan dari diamku ini. Aku batu, dikutuk untuk tenteram. /3/ Di lembah ini aku tinggal menghadap jurang, mencoba menafsirkan rasa haus yang kekal ketenteraman itu, sekarat itu Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 93 1991 MAUT maut dilahirkan waktu fajar ia hidup dari mata air, itu sebabnya ia tak pernah mengungkapkan seluk beluk karat yang telah mengajarinya bertarung melawan hidup; ia juga takkan mau menjawab teka-teki senjakala yang telah menahbiskannya menjadi penjaga gerbang itu maut mencintai fajar dan mata air, dengan tulus 1991 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 94 HUJAN, JALAK, DAN DAUN JAMBU Hujan turun semalaman. Paginya jalak berkicau dan daun jambu bersemi; mereka tidak mengenal gurindam dan peribahasa, tapi menghayati adapt kita yang purba, tahu kapan harus berbuat sesuatu agar kita, manusia, merasa bahagia. Mereka tidak pernah bisa menguraikan hakikat kata-kata mutiara, tapi tahu kapan harus berbuat sesuatu, agar kita merasa tidak sepenuhnya sia-sia. 1992 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 95 AJARAN HIDUP hidup telah mendidikmu dengan keras agar bersikap sopan – misalnya buru-buru melepaskan topi atau sejenak menundukkan kepala – jika ada jenazah lewat hidup juga telah mengajarmu merapikan rambutmu yang sudah memutih, membutlkan letak kacamatamu, dan menggumamkan beberapa larik doa jika ada jenazah lewat agar masing dianggap menghormati lambang kekalahannya sendiri 1992 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 96 TERBANGNYA BURUNG terbangnya burung hanya bisa dijelaskan dengan bahasa batu bahkan cericitnya yang rajin memanggil fajar yang suka menyapa hujan yang melukis sayap kupu-kupu yang menaruh embun di daun yang menggoda kelopak bunga yang paham gelagat cuaca hanya bisa disadur ke dalam bahasa batu yang tak berkosa kata dan tak bernahu lebih luas dari fajar lebih dalam dari langit lebih pasti dari makna sudah usai sebelum dimulai dan sepenuhnya abadi tanpa diucapkan sama sekali 1994 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 97
BukuKumpulan Puisi Sapardi Djoko Damono Pdf KT Puisi from ktpuisi.blogspot.com. Analisis puisi pada suatu pagi hari karya sapardi djoko damono dari aspek makna | 803 mengetahui perbedaan unsur intrinsik lainnya seperti novel, cerpen,dan drama. Program studi pendidikan bahasa indonesia. Dimensi tema cerpen "pengarang telah mati" karya
Yang fana adalah waktu, kita abadi Dunia literasi Indonesia baru saja berduka atas meninggalnya sang penyair legendaris, Sapardi Djoko Damono. Pujangga kelahiran 20 Maret 1940 ini mengembuskan napas terakhirnya di usia 80 tahun, pada Minggu, 19 Juli 2020. Sosok panutan di bidang sastra ini tak hanya populer dalam negeri, tapi juga mancanegara. Karya-karyanya pun banyak diterjemahkan dan menuai berbagai penghargaan, baik dalam maupun luar negeri. Tak hanya sekadar puisi, lho, Sapardi juga menerbitkan deretan buku puisi, fiksi, dan menerjemahkan karya sastra sejak 1969. Karya-karyanya yang sudah berusia puluhan tahun pun masih selalu berhasil menyentuh hati para pencinta sastra. Mengenal Sosok Sapardi Djoko Damono5 Buku Terbaik Sapardi Djoko Damono1. Hujan Bulan Juni 2. Yang Fana Adalah Waktu3. Manuskrip Sajak Sapardi 4. Bilang Begini, Maksudnya Begitu5. Duka-Mu Abadi8Puisi Sapardi Djoko Damono Paling Populer Berikut Makna di Dalamnya1. Hujan Bulan Juni2. Aku Ingin3. Yang Fana Adalah Waktu 4. Hatiku Selembar Daun5. Pada Suatu Hari Nanti6. Kuhentikan Hujan7. Menjenguk Wajah Kolam8. Sajak Tafsir Mengenal Sosok Sapardi Djoko Damono Source Yuridespita Sebelum menyimak berbagai karya yang dikeluarkan oleh sang penyair legendaris satu ini, ada baiknya kamu berkenalan lebih dekat dengan sosok Sapardi Djoko Damono yang sangat menginspirasi ini. Selain penyair hebat, Sapardi juga dikenal sebagai pengamat, kritikus, sekaligus pakar sastra. Sapardi lahir di Surakarta pada tanggal 20 Maret 1940. Ia menghabiskan masa mudanya di kota tersebut hingga ia lulus SMA pada tahun 1958. Ternyata, Sapardi sudah hobi menulis sejak duduk di bangku sekolah. Ia juga sering menulis sejumlah karya dan mengirimkannya ke beberapa majalah. Baru setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan menempuh kuliah di bidang Bahasa Inggris. Ia lalu memperdalam pengetahuan tentang humanities di University of Hawaii, Amerika Serikat pada tahun 1971. Source Pada tahun 1974, Sapardi mengajar di Fakultas Sastra kini dikenal dengan sebutan Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Indonesia. Di tahun 1989, Sapardi memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra. lalu ia dikukuhkan menjadi guru besar di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Sebagai seorang sastrawan, tak hanya rajin menulis dan menghasilkan karya, Sapardi juga seringkali menghadiri berbagai pertemuan sastrawan internasional di berbagai negara. Sebut saja Translation Workshop dan Poetry International di Belanda, Seminar on Literature and Social Change in Asia di Canberra, Festival Seni di Adelaide, Asean Poetry Centre di India, dan masih banyak lagi. Sebagai seorang penyair yang orisinil dan kreatif, selama masa hidupnya sebagai sastrawan, Sapardi telah mendapatkan banyak sekali penghargaan dan hadiah sastra atas prestasinya menulis puisi. Tahun 1963, ia mendapatkan hadiah atas puisinya yang berjudul Ballada Matinya Seorang Pemberontak. Lalu, pada tahun 1978, ia menerima penghargaan Culturan Award dari pemerintah Australia. Pada 1983, bukunya yang berjudul Sihir Hujan dari Malaysia juga mendapatkan hadiah Anuegerah Puisi Putera-Putera II. Kamu pasti familiar dengan karya Perahu Kertas, kan? Salah satu karya Sapardi paling sukses tersebut juga mendapat hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta. Sapardi terus membuahkan prestasi dengan memperoleh banyak penghargaan dan hadiah dari tahun ke tahun. Terakhir, pada tahun 2012, Sapardi juga mendapat penghargaan dari Akademi Jakarta. 5 Buku Terbaik Sapardi Djoko Damono Source Sang sastrawan kebanggaan Indonesia ini terkenal akan puisinya yang sederhana, tapi penuh makna. Setiap larik puisinya seakan mengandung kisah yang tulus dan membuat hati terenyuh. Walau kepergiannya meninggalkan luka mendalam, sosoknya akan selalu dikenang dan karyanya akan selalu mewarnai hari-hari kita. Untuk mengenangnya, yuk, baca 5 buku puisi Sapardi terbaik untuk menemani harimu! 1. Hujan Bulan Juni Source “Hujan Bulan Juni” sudah pasti merupakan salah satu karya terbaik Sapardi Djoko Damono. “Hujan Bulan Juni” adalah salah satu novel trilogi ciptaannya yang paling banyak dicari. Novel ini menceritakan tentang manis-pahitnya kisah percintan Sarwono dan Pingkan. Kisahnya yang penuh makna tak hanya tersampaikan dalam tulisan, tapi juga diadaptasi ke layar lebar dalam judul yang sama pada 2017. Sebelum menjadi novel, “Hujan Bulan Juni” sudah terbit terlebih dahulu sebagai buku kumpulan puisi. Buku kumpulan puisi ini juga telah dialihbahasakan ke dalam empat bahasa, yaitu Inggris, Mandarin, Jepang, dan Arab. 2. Yang Fana Adalah Waktu Source “Yang Fana Adalah Waktu” merupakan bagian terakhir dari trilogi “Hujan Bulan Juni”. Di sinilah kisah Sarwono dan Pingkan usai setelah “Pingkan Melipat Jarak” yang terbit pada 2017. Novel yang terbit 2018 ini seakan menegaskan bahwa cinta Pingkan dan Sarwono kekal, yang fana hanya hanyalah waktu. Dalam novel ini pembaca juga mendapat bonus buku mini berjudul “Sajak-Sajak untuk Pingkan”. Peluncuran buku “Yang Fana Adalah Waktu” diiringi oleh pembacaan sajak oleh dirinya serta musikalisasi puisi oleh Arini Kumara, Tatyana Soebianto, dan Umar Muslim. Trilogi karya Sapardi ini pun menuai penghargaan dalam Anugerah Buku ASEAN 2018 di Malaysia. Karya sastranya yang fenomenal ini dinilai bermutu tinggi oleh para profesional. 3. Manuskrip Sajak Sapardi Source “Manuskrip Sajak Sapardi” lahir pada 2017 lalu dan disebut-sebut sebagai harta karun yang berharga. Dalam buku ini tersimpan corat-coret sajak Sapardi dari ketika di masa muda hingga dewasa. Dalam “Manuskrip Sajak Sapardi” kita bisa melihat sajak-sajak sang pujangga bagaikan “sketsa” sebelum menjadi buku. Kata-katanya spontan, mengalir apa adanya, dan tentu saja indah. Desain bukunya pun tampak seperti album kolase gambar yang terbagi dalam periode tahunan, dari 1958-1968, juga 1970-an. Sapardi pun berharap “manuskrip” ini bermanfaat untuk bahan studi dalam pembelajaran sastra. 4. Bilang Begini, Maksudnya Begitu Source Melalui buku “Bilang Begini Maksudnya Begitu”, Sapardi ingin mengajak pembaca yang belum dekat dengan sastra untuk lebih mengenalnya. Ia ingin pembaca lebih mengapresiasi puisi sebagaimana penyair yang membuatnya. Seperti yang kamu tahu, ya, banyak kiasan dan makna terpendam dalam setiap larik puisi. Lewat buku ini sang pujangga ingin mengajak pembaca untuk mengerti “gaya” yang penyair gunakan dalam berima. Untaian kata-katanya pun penuh makna dan indah. Sapardi juga mencantumkan contoh dan penjelasan agar pembaca mudah memahaminya. 5. Duka-Mu Abadi Source Pada 2017 lalu, Sapardi menerbitkan tujuh buku sekaligus yang terdiri atas satu novel dan enam kumpulan puisi. Bukan tanpa alasan, lho, Sapardi menerbitkan tujuh buku tersebut untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-77 tahun kala itu. Novel “Pingkan Melipat Jarak” merupakan salah satu dari tujuh buku yang ia terbitkan. Enam buku kumpulan puisinya adalah “Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita”, “Namaku Sita”, “Ayat-Ayat Api”, “Kolam”, “Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?”, dan “Duka-Mu Abadi”. Buku “Duka-Mu Abadi” merupakan salah satu karya terbaik Sapardi yang paling banyak diburu. Isinya ada 43 karya puisi ciptaannya pada tahun 1967-1968. 8Puisi Sapardi Djoko Damono Paling Populer Berikut Makna di Dalamnya Source Selain karya bukunya di atas, Sapardi tetap tinggal di hati kita melalui puisi-puisinya. Untaian kata yang sudah tertulis puluhan tahun lalu pun terasa tak lekang oleh waktu. Seperti 8 puisi terbaik karya Sapardi Djoko Damono berikut ini 1. Hujan Bulan Juni Source Tak ada yang lebih tabahdari hujan bulan Junidirahasiakannya rintik rindunyakepada pohon berbunga itu. Tak ada yang lebih bijakdari hujan bulan Junidihapusnya jejak-jejak kakinyayang ragu-ragu di jalan itu. Tak ada yang lebih arifdari hujan bulan Junidibiarkannya yang tak terucapkandiserap akar pohon bunga itu. Kamu pasti familiar dengan karya puisi Sapardi Djoko Damono ini, kan? Saking terkenalnya, puisi indah satu ini sampai dijadikan film di tahun 2017 dengan judul yang sama. Film Hujan di Bulan Juni ini tayang di tahun 2017 lalu. 2. Aku Ingin Aku ingin mencintaimu dengan sederhanadengan kata yang tak sempat diucapkankayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhanadengan isyarat yang tak sempat disampaikanawan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Puisi di atas diciptakan pada tahun 1989 yang menggambarkan sebuah kisah cinta luar biasa. Puisi ini memiliki makna pengorbanan yag begitu dalam yang digambarkan oleh sang penyair kepada orang yang dicintainya. Buat kamu yang sedang mencari puisi yang memiliki makna kasih tak sampai atau cinta yang bertepuk sebelah tangan, puisi indah ini adalah jawabannya. Duh, bikin sedih aja, deh! 3. Yang Fana Adalah Waktu Source Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa “Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” abadi. Puisi Sapardi Djoko Damono satu ini memiliki beberapa pesan tersirat. Ia mencoba mengingatkan manusia betapa pentingnya waktu yang kita miliki di dunia ini. Kesempatan dan waktu yang diberikan oleh Tuhan haruslah dimanfaatkan sebaik mungkin. 4. Hatiku Selembar Daun Source Hatiku selembar daunmelayang jatuh di rumput. Nanti dulu,biarkan aku sejenak terbaring di sini;ada yang masih ingin kupandang,yang selama ini senantiasa luput; Sesaat adalah abadisebelum kausapu tamanmu setiap pagi. Jika kamu membaca puisi ini berulang kali, pasti kamu mengerti bahwa ada makna yang sangat mendalam di balik puisi ini. Ternyata, puisi ini memiliki makna tersirat, sang penyair meminta pada Tuhan untuk menunda kematiannya. Ia ingin menyelesaikan pekerjaannya sebelum akhirnya kematian menghampirinya. Puisi ini memiliki makna yang erat dengan makna keTuhanan, ia meminta kesempatan untuk melakukan hal-hal yang mungkin ia lewatkan. Penyair seperti menulis puisi ini dengan penuh penyesalan. Wah, bisa jadi bahan introspeksi, nih! 5. Pada Suatu Hari Nanti Source Pada suatu hari nanti jasadku tak akan ada lagi tapi dalam bait-bait sajak inikau takkan kurelakan sendiri Pada suatu hari nanti suaraku tak terdengar lagi tapi di antara larik-larik sajak ini kau akan tetap kusiasati Pada suatu hari nanti impianku pun tak dikenal lagi namun di sela-sela huruf sajak ini kau takkan letih-letihnya kucari. Puisi di atas mencoba menggambarkan kesadaran tentang kematian. Semua orang akan dihadapi dengan kematian dan hal itu pasti akan terjadi. Sosok “aku” dalam puisi tersebut seakan tak membiarkan “kamu” kesepian dan akan terus menemaninya melalui karya yang ditinggalkan. 6. Kuhentikan Hujan Source RoamRight Kuhentikan hujankini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahanAda yang berdenyut dalam dirikumenembus tanah basahdendam yang dihamilkan hujandan cahaya mataharitak bisa kutolakmatahari memaksaku menciptakan bunga-bunga Puisi ini juga menceritakan tentang sebuah pengorbanan cinta. Terlihat sosok matahari yang sedang berduka, namun karena dengan bantuan hujan, duka tersebut melahirkan bunga-bunga. 7. Menjenguk Wajah Kolam Source Pinterest Jangan kau ulangimenjengukwajah yang merasasia-sia, yang putihyang pasti ituJangan sekali-kali membayangkanwajahmu sebagai rembulan Ingat,jangan sekali-kali. Tuan. Sebenarnya, puisi ini merupakan cerminan siapa saja yang sedang merasa kesepian lalu dirundung banyak pertanyaan. Pikiran seakan penuh dengan kekhawatiran. Dalam puisi ini dikatakan bahwa jika sedang banyak pikiran dan dirundun gpertanyaan, jangan sering-sering melihat wajahnya yang murung agar tak larut dalam kesedihan. 8. Sajak Tafsir Source All About Birds Kau bilang aku burung?jangan sekali-kali berkhianatkepada sungai, ladang, dan selembar daun terakhiryang mencoba bertahan di rantingyang membenci angin Aku tidak suka membayangkankeindahan kelebat dirikuyang memimpikan tanahtidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkankuke dalam bahasa abuTolong tafsirkan akusebagai daun terakhiragar suara angin yang meninabobokanranting itu padamTolong tafsirkan aku sebagai hasratuntuk bisa lebih lama bersamamu Tolong tafsirkan aku sebagai hasratuntuk bisa lebih lama bersamamu Tolong ciptakan makna bagikuapa saja – aku selembar daun terakhiryang ingin menyaksikanmu bahagiaketika sore tiba. Puisi Sapardi Djoko Damono satu ini meminiliki makna filosofis sebuah kehidupan. Ia menggunakan gaya bahasa metafora dalam puisinya, seperti yang kamu bisa lihat dalam kata burung, kawat, dan juga senja yang menceritakan perjalanan kehidupan manusia yang penuh suka, duka, cinta, hingga cobaan dalam hidup yang dialami manusia hingga akhir usianya. Jadi, itulah 13 buku dan puisi Sapardi Djoko Damono untuk menemani hari-harimu. Apa karyanya yang paling kamu sukai dari daftar di atas? Apakah kamu punya kisah tersendiri dari karya-karya Sapardi Djoko Damono? Yuk, tuliskan isi hatimu di kolom komentar! Dengan ini, Rukita juga mengucapkan bela sungkawa atas kepergian sang legendaris Sapardi Djoko Damono. Kini puisi “Pada Suatu Hari Nanti” seakan menjadi nyata, dan hujan ternyata turun di bulan Juli, bukan “Hujan di Bulan Juni”. Walau kau sudah di atas tinggi, karyamu akan selalu abadi, Pak Sapardi! Kamu sedang mencari kost eksklusif di pusat kota? Ada berbagai pilihan kost coliving fully furnished dari Rukita yang fasilitasnya lengkap banget! Harganya terjangkau, lokasinya strategis banget, lho. Penasaran? Klik tombol di bawah! Jangan lupa unduh aplikasi Rukita via Google Play Store atau App Store, bisa juga langsung hubungi Nikita customer service Rukita di +62 819-1888-8087, atau kunjungi Follow juga akun Instagram Rukita di Rukita_Indo dan Twitter di Rukita_Id untuk berbagai info terkini serta promo menarik!CategoriesTak Berkategori
SapardiDjoko Damono biografi dan kumpulan puisi sapardi djoko damono sapardi djoko damono dilahirkan di rumah kakeknya dari pihak ayah yang terletak di kampung baturono solo ia merupakan anak sulung dari pasangan sadyoko dan sapariah sapardi yang lahir pada tanggal 20 maret sekaligus analisisnya disinlah tempatnya penerapan pendekatan - Meninggalnya sastrawan, Sapardi Djoko Damono meninggalkan kesedihan bagi masyarakat Indonesia. Sapardi Djoko Damono dikabarkan menghembuskan napas terakhirnya di usia ke-80, Minggu 19/7/2020 sekira pukul WIB. Pria kelahiran Solo, 20 Maret 1940 ini kerap melahirkan puisi-puisi yang romantis dan menyentuh hati. Yang Fana adalah Waktu menjadi satu dari beberapa puisi romantis karya Sapardi yang sangat populer. Baca Sastrawan Sapardi Djoko Damono Tutup Usia, Jenazahnya Dimakamkan Minggu Sore di Bogor Bahkan puisi karyanya yang berjudul Hujan Bulan Juni diangkat ke layar lebar. Pujangga Sapardi Djoko Damono ikut berpartisipasi dalam Konser Gitaris Indonesia Peduli Negeri Musik dan Syair Solidaritas, di Bentara Budaya Jakarta, Kamis 11/10/2018. Lebih dari 60 gitaris Indonesia, musisi dan seniman ikut berpatisipasi dalam konser yang diadakan untuk mengumpulkan donasi bagi korban gempa di Sulawesi Tengah dan Lombok. Selain musik serta puisi, dalam acara tersebut juga diadakan lelang gitar, donasi puisi, serta workshop pembuatan tempe yang juga ditujukan untuk donasi. TRIBUNNEWS/HERUDIN TRIBUNNEWS/HERUDIN Berikut tujuh puisi cinta karya Sapardi Djoko Damono paling romantis dan menyentuh hati yang dikutip dari 1. Aku Ingin “Aku ingin mencintaimu dengan sederhanadengan kata yang tak sempat diucapkankayu kepada api yang menjadikannya abu Aku ingin mencintaimu dengan sederhanadengan isyarat yang tak sempat disampaikanawan kepada hujan yang menjadikannya tiada” Puisi Aku Ingin menjadi salah satu karya Sapardi yang beralih wahana menjadi lagu, atau biasa disebut musikalisasi puisi. 2. Pada Suatu Hari Nanti “Pada suatu hari nanti,jasadku tak akan ada lagi,tapi dalam bait-bait sajak ini,kau tak akan kurelakan sendiri. Pada suatu hari nanti,suaraku tak terdengar lagi,tapi di antara larik-larik sajak ini. Kau akan tetap kusiasati,pada suatu hari nanti,impianku pun tak dikenal lagi,namun di sela-sela huruf sajak ini,kau tak akan letih-letihnya kucari.”
kumpulan puisi sapardi djoko damono pdf

Manuskrippuisi "Hujan Bulan Juni" Sapardi Djoko Damono 12. LANSKAP. sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tua. waktu hari hampir lengkap, menunggu senja. putih, kita pun putih memandangnya setia. sampai habis semua senja. 1967. Manuskrip puisi "Hujan Bulan Juni" Sapardi Djoko Damono 13.

Peringatan Hari Buruh 1 Mei mengusung foto Marsinah. FOTO Republika KAKI BUKIT – Semua yang perjuangan dan peristiwa tragis menimpa Marsinah itu yang melahirkan karya seni. Menurut Goenawan Mohamad, apa yang dialami Marsinah adalah sebuah gambaran yang menyesakkan, tentang bagaimana seseorang yang memperjuangkan tuntutan yang bersahaja pada akhirnya tersangkut dengan masalah hak dasar hak untuk punya suara, hak untuk punya harapan, bahkan hak untuk punya jiwa dan badan. Kita tak tahu siapa yang membunuh Marsinah. Tapi kita tahu mengapa ia dibunuh. Ia seorang buruh yang mengais-ngais dari remah-remah dunia yang dikenalnya secara terbatas. Ia tidak punya pilihan lain. Ia bermaksud mengubah nasibnya. Menurut Ratna Sarumpaet, terlepas dari proses persidangan kasus Marsinah yang penuh teka-teki itu; terlepas dari kesedihan kita menyaksikan ketidakmampuan lembaga peradilan mengungkap kasus ini. Kematian perempuan ini bagaimana pun telah mengungkapkan pada kita dua hal. Scroll untuk membaca Scroll untuk membaca Satu, tentang kekerasan yang telah mencabik-cabik rahim dan merenggut nyawanya. Dua, tentang perjuangannya sebagai buruh industri menghadapi pihak pabrik yang mengeksploitasinya, serta pihak keamanan yang menekan dan menyudutkannnya. Dari kasus Marsinah selain Ratna Sarumpaet yang menuangkannya dalam naskah lakon atau teater ada juga Sapardi Djoko Damono yang menuangkannya dalam puisi. Sapardi menulis puisi berjudul “Dongeng Marsinah” butuh waktu tiga tahun lebih pada 1993- 1996 untuk menulisnya. Ada yang mengatakan, “Dongeng Marsinah” adalah salah satu puisi yang sarat dengan kritik sosial, juga ada menyebutnya sebagai bentuk luapan kemarahan sastrawan Sapardi Djoko Damono pada kasus pembunuhan Marsinah. Puisi “Dongeng Marsinah” ditulis Sapardi cukup panjang ada enam bagian. Pada bagian pertama menulis /1/ Marsinah buruh pabrik arloji, mengurus presisi merakit jarum, sekrup, dan roda gigi; waktu memang tak pernah kompromi, ia sangat cermat dan pasti /2/ Marsinah, kita tahu, tak bersenjata, ia hanya suka merebus kata sampai mendidih, lalu meluap ke mana-mana. “Ia suka berpikir,” kata Siapa, “itu sangat berbahaya.” Marsinah tak ingin menyulut api, ia hanya memutar jarum arloji agar sesuai dengan matahari. “Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa, “dan harus dikembalikan ke asalnya, debu. Persoalan tentang buruh seperi kasus Marsinah yang terjadi pada zaman Orde Baru adalah persoalan yang krusial yang sampai kini tak kunjung teratas. Persoalannya bukan sekedar urusan industrial, tetapi juga menyangkut persoalan lain seperti sosial, ekonomi, dan politik. Terhadap persoalan buruh tersebut Wiji Thukul yang buruh dan aktivis buruh menuangkan dalam puisi. Pada tahun 2014, terbit buku kumpulan lengkap puisinya yang berjudul “Nyanyian Akar Rumput.” Dalam puisinya berjudul “Suti” WijiThukul menampilkan potret seorang buruh bernama Suti yang sakit akibat “terisap” oleh beban pekerjaannya yang berat, namun ia tidak memiliki cukup uang untuk berobat karena upahnya sebagai buruh tidak mencukupi. Kemudian pada puisi berjudul “Leuwigajah” ia memotret buruh tenaga muda yang terus diperah, diisap darahnya, seperti buah disedot vitaminnya. Puisi berjudul, “Terus Terang Saja,” Wiji Thukul menyatakan kapitalis sebagai musuh bagi mereka kaum buruh. Menurut Debora Martini Wulu dan Ali Nuke Affandy dalam penelitian berjudul “Penindasan Buruh dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra,” 2019 menyebutkan, puisi ini mengkonotasikan kapitalis sebagai sesuatu yang terus-menerus memakan tetes-tetes keringat kaum buruh. Nasib buruh memang sangat memperihatinkan, jika tak ingin disebut mengenaskan. Kapitalisme yang terus tumbuh dengan subur menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial. Para pemilik modal yang banyak diantaranya adalah orang asing berusaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara mempekerjakan buruh dengan upah yang rendah. Naskah lakon “Marsinah Nyanyian Bawah Tanah” karya Ratna Sarumpaet, puisi “Dongeng Marsinah” yang ditulis Sapardi Djoko Damono dan kumpulan puisi Wiji Thukul berjudul “Nyanyian Akar Rumput” adalah karya seni atau sastra yang membicarakan persoalan manusia. Antara karya sastra dengan manusia memiliki hubungan yang tidak terpisahkan. Sastra dengan segala ekspresinya merupakan pencerminan dari kehidupan manusia. Adapun permasalahan manusia merupakan ilham bagi pengarang untuk mengungkapkan dirinya dengan media karya sastra atau seni. maspril aries marsinah dongeng marsinag sapardi djoko damono wiji thukul buruh marsinah ratna sarumpaet hari buruh JwLZ.
  • 3j33xcrk0u.pages.dev/303
  • 3j33xcrk0u.pages.dev/224
  • 3j33xcrk0u.pages.dev/56
  • 3j33xcrk0u.pages.dev/252
  • 3j33xcrk0u.pages.dev/370
  • 3j33xcrk0u.pages.dev/435
  • 3j33xcrk0u.pages.dev/22
  • 3j33xcrk0u.pages.dev/418
  • kumpulan puisi sapardi djoko damono pdf